Penjelasan dan Statemen Estafeta - I

PENJELASAN & STATEMEN
MUHAMMAD YUSUF THOHIRY TENTANG ESTAFETA KEPEMIMPINAN NKA-NII
TAHUN 1996

Amma ba`du

“Hai orang beriman! Jadilah kamu orang yang yang benar- benar menegakkan keadilan, menjadi saksi semata –mata karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerbatmu. Sekalipun yang tergugat itu kaya atau miskin, maka Allah lebih mengutamakan persamaan hak dan kewajiban terhadap keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu untuk memperkosa keadilan. Dan kalau kamu memutarbalikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[1]

“Hai orang yang beriman, kenapa kamu berkata hal-hal yang kamu tidak kerjakan?” Amat besar kemurkaan di sisi Allah, kalau kamu mengatakan apa- apa yang tidak kamu kerjakan.”[2]

Penjelasan Kesatu: Estafeta Kepemimpinan NKA-NII

1. Al Qur`an, Sunnah dan Konstitusi Negara

Tidak dipungkiri bahwa sejak tertangkapnya Imam Asy-Syahid SM. Kartosoewirjo tahun 1962, kelanjutan kepemimpinan Negara Islam Indonesia bagi sebagian besar masyarakat belum mengetahui kejelasannya. Ada yang mengatakan bawa NKA-NII telah berpecah-belah, karena adanya perselisihan dalam hal kepemimpinan, sehingga banyak yang mengatasnamakan Imam NKA-NII. Hal itu telah mengakibatkan adanya kebingungan atas sebagian Mujahidin NKA-NII pelanjutnya.

Jika dikaji dengan seksama, perihal kepemimpinan negara harus mengacu kepada undang-undang negaranya sebagai alat pemersatu. Jika mengacu langsung kepada undang-undang, maka sebenarnya tidak ada istilah “NKA-NII berpecah-pecah”. Adapun kenyataan adanya beberapa kelompok, yang masing-masing mengatasnamakan berada di bawah Imam NKA-NII, karena mereka mengangkat Imamnya tidak berdasarkan perundang-undangan NKA-NII. Sehubungan dengan itu, firman Allah SWT. menerangkan;

“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[3]

Pengertian “ta’atkepada Allah” adalah merujuk kepada Al-Qur’an. Dan pengertian “ta’at kepada Rasul-Nya” adalah merujuk kepada sunnah Nabi Muhammad SAW., kemudian ta’at kepada Ulil Amri adalah kepada Ulil Amri yang ta’at kepada Allah dan ta’at kepada Rasulullah-Nya serta merujuk kepada perundang-undangan negara. Dengan demikian, satu-satunya jalan supaya tidak berselisih dalam menentukan Imam NKA-NII harus didasari oleh pedoman tersebut. Sebagai contoh: Pertama, Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 58 dinyatakan

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhaq menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.[4]

Cukup jelas, bahwa yang disebut Amanat itu mencakup amanat kepemimpinan (Ulil Amri). Dan yang disebut Ahliha, berarti yang memiliki legalitas (sesuai dengan peraturan/hukum). Dengan demikian legalitas Imam NKA-NII kemunculnya berdasarkan peraturan-peraturan NKA-NII, sehingga yang berpegang padanya tidak berselisih; Kedua, Dalam Sunnah Rasulullah SAW., bahwa “Negara/Daulah” Islam di Madinah disertai undang-undangnya (Shahifah Madinah), semua warganya diwajibkan untuk mentaatinya. Artinya, jika kembali kepada Sunnah Rasulullah SAW., maka pengangkatan Imam NKA-NII pun harus sesuai dengan undang-undang NKA-NII, sehingga tidak berselisih. Al-Qur’an memerintahkan supaya bermusyawarah dalam memilih pemimpin,[5] maka yang bermusyawarah (menjalankan amanat) itu harus yang memiliki hak untuk itu, yakni posisinya yang memiliki kapasitas dan legalitas. Dengan demikian permusyawarahan itu tidak keluar dari koridor undang-undang.

Kesimpulan dari dua contoh di atas, bahwa yang memilih pemimpin (Imam) berdasarkan undang-undang tidak disebut sedang berselisih. Jadi, yang masih memperselisihkan ‘keimaman NKA-NII’ itu, adalah mereka yang tidak kembali kepada undang-undang NKA-NII, artinya tidak berpedoman atau belum kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Perlu diresapi bahwa adanya perintah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, tersirat adanya kemungkinan yang akan menjadi pemberontak. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor dalam hatinya, sehingga tidak mau merujuk kepada kebenaran Ilaahi. Dari itu yang disebut persatuan ummat, bukan berarti semua yang mengaku Islam akan bersatu! Sebab, pemberontak itu selalu ada! Dengan kata lain, akan ada saja yang tergoda setan. Jadi, yang menjadi barometer persatuan dalam Negara Islam Indonesia ialah perundang-undangan.

Terhadap yang mengatakan Pedoman Dharma Bakti (PDB) membuat pusing kepala, berbeda-beda pendapat sehingga berpecah-pecah, hal itu sangat keliru! Sebab; Pertama, Justru berpedoman kepada PDB supaya tidak pusing, kecuali jika bagi yang belum bisa memahaminya. Atau bagi yang sudah memahami serta mengakui kebenaran PDB, sedang hatinya berat menerimanya. Itu satu di antara penyakit hati; mengakui kebenaran cuma di dalam hati, tetapi menolak dalam sikap. Ada dua penyebab bagi yang menafsirkannya menyalahi dari penafsiran yang sebenarnya, yaitu:

1) Kurangnya wawasan dalam hal yang berhubungan dengan undang undang;
2) Wawasan cukup, tapi tidak ikhlas untuk mengakui kebenarannya, sehingga tidak jujur dalam mengemukakannya. Point yang kedua ini biasanya terjadi pada orang yang takut tergeser posisinya bila undang-undang itu diaplikasikan. Atau karena gengsi, mungkin juga malu, jatuh wibawa karena terlanjur mempertahankan pendapatnya. Jadi, yang membuat umat pecah-belah itu bukan undang-undangnya. Melainkan, jika bukan faktor ketidakmengertian, tentunya disebabkan oleh ketidakikhlasan sang penafsirnya. Perhatikan ayat di bawah ini yang bunyinya:

“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya.”[6]

Pada ayat tersebut terdapat kata “Ulama”, dalam masa sekarang maksudnya tidak ditujukan kepada ulama Bani Isroil saja, melainkan kepada orang yang sudah mengerti. Berkaitan dengan itu lihat lagi ayat yang bunyinya:

“Sesungguhnya kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.”[7]

Asbaabunnuzul dari ayat itu menerangkan, bahwa para pentolan musyrikin Quraisy, seperti Abu Jahal, Abu Sofyan dan Akhnas dalam hati mereka membenarkan; bahwa Muhammad SAW. itu nabi. Namun mereka menyembunyikannya dihadapan para pengikutnya, karena takut masing-masing kedudukannya jatuh. Artinya, jika ketahuan oleh para pengikutnya niscaya akan didepak dari posisi kepemimpinannya. Atau jika terus terang mengakui kenabian Muhammad SAW., berarti para pentolan bangsawan itu akan dipimpin oleh seorang yang asalnya penggembala domba.

Memang, ayat itu ditujukan kepada para pentolan Quraisy. Akan tetapi, kesombongan serta dengki dari sifat iblis tidak berhenti sampai sekarang. Iblis sudah berikrar untuk menyesatkan manusia dari segala segi kehidupan sehingga seseorang tidak menyadarinya[8] Menuntun ummat keluar dari undang-undang Ulil Amri yang haq sungguh suatu kebathilan, sedangkan perbuatan bathil itu merusak shalat. Sebab itu, waspadalah terhadap pintu masuknya Iblis!

Tujuan Iblis ialah supaya manusia masuk neraka.[9] Caranya berbeda-beda tergantung kondisi manusianya. Bisa saja dari segi sholat dan puasanya seseorang tidak tergoda, tapi keangkuhan dan gila hormat memperdayanya. Akibatnya terus membohongi ummat sehingga ummat tidak tahu dasar hukum kepemimpinnya; Sehingga umat dituntun kepada kepalsuan atau digiring kepada anggapan belum adanya pemimpin. Sungguh berani jika infaqnya diambil sedangkan belum adanya pemimpin, atau adanya pemimpin tetapi tidak berdasarkan hukum karena diabaikan. Bagaimanakah pertanggungan jawabnya nanti di Akhirat? Padahal pihak thoghut alias ‘Setan’ saja punya pemimpin. Apalagi dalam Islam, sebelum Khadijah, Abu Bakar serta Ustman bin Affan menginfaqkan harta mereka, juga sebelum Yassir dan Sumayyah dibunuh pihak lawan, serta Bilal bin Raba’ah disiksa, kesemuanya itu sudah ada kejelasan pemimpinnya.

Kedua, Justru dengan berpegang pada undang-undang itu supaya tidak berbeda-beda. Sebab, di dunia manapun tidak ada undang-undang yang dibuat supaya di antara para pemegangnya berbeda-beda dan berpecah-belah.

Ketiga, Berpegang pada undang-undang itu karena berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Sebagai contoh: Pertama, Di dalam Al-Qur’an ada ayat yang memerintahkan supaya menta’ati “Ulil Amri (para pemegang urusan)” yaitu pemimpin atau lembaga kepemimpinan. Artinya, kita diperintahkan untuk menta’ati peraturan/undang-undang yang ditetapkannya. Jadi, berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah itu wajib. Demikian halnya berpegang pada Qanun Azasi, Maklumat-maklumat, Strafrecht, Statement Pemerintah. Berkaitan dengan undang-undang, perhatikan ayat yang bunyinya:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Robbnya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”.[10]

Dari ayat itu diwajibkan bermusyawarah dalam mengatur urusan, berarti musyawarah urusan kepemimpinan wajib merujuk kepada undang-undang. Sebab, undang-undang itu merupakan hasil musyawarah. Jika tidak demikian, semua akan kacau, semua bisa ngaku telah bermusyawarah. Bahkan hasil rekayasa “Thogut (musuh)” pun dianggap sebagai hasil musyawarah.

Contoh Kedua, Al-Qur’an mewajibkan kita bersatu, sebagaimana diungkapkan dalam ayat yang bunyinya:

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-cerai, ...).[11]

Dari ayat itu dimengerti bahwa umat itu bisa bersatu apabila berpegang pada “Hablulloh (garis yang ditentukan Alloh)”, yaitu Al-Quran dan sunnah Nabi SAW. Sebagai bukti, pada awal berdirinya negara Islam di Madinah umat Islam sebagai minoritas dan terus menghadapi berbagai gangguan fisik dari dalam ataupun luar, namun tetap bersatu. Persatuan itu disebabkan semua umat berpegang pada undang undang (piagam/undang undang Madinah) sehingga seragam. Baik dalam hal kepemimpinan maupun dalam penentuan mana lawan dan mana kawan. Dengan demikian bisa disimpulkan, secara hukum bahwa yang disebut berpecah-belah adalah mereka yang tidak berundang-undang (inkonstitusional). Perhatikan sabda Nabi SAW:

“Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Sesungguhnya Allah tidak menyatukan ummatku atas kesesatan. Tidak akan bersatu ummat kecuali dalam petunjuk (Hudaan).” [HR.Tirmidzi][12]

Yang disebut “Hudaan“ yaitu petunjuk. Dan yang disebut petunjuk itu ialah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, seperti halnya Nabi membuat undang-undang negara di Madinah. Kemudian, Nabi Muhammad SAW. mewajibkan kepada ummat untuk menta’atinya. Apalah artinya ber-Ulil Amri jika tidak ta’at kepada undang-undangnya. Jadi, yang tidak ta’at pada undang-undang negara yang berazaskan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, merekalah yang tidak berpegang pada Hudaan.

Contoh Ketiga, Bagian akhir dalam undang-undang pemerintahan Nabi di Madinah disebutkan antara lain:

“Sesungguhnya tidak ada orang yang akan melanggar ketentuan {undang-undang) tertulis ini kalau bukan penghianat dan pelaku kejahatan”.

Dengan itu jelas ummat Nabi SAW diwajibkan berpegang pada undang-undang pemerintahan Islam di Madinah. Jadi, kita juga harus berpegang pada undang-undang NKA-NII yang berdasarkan Qur’an dan Hadist Shohih.

Kesimpulannya, bahwa berpecah-belah itu, karena tidak berpegang pada satu rujukan (undang-undang). Yaitu, ingat pada negara tapi lupa pada peraturannya, ingat pada ayat jihad lupa kewajiban ta’at pada undang-undang yang dikeluarkan oleh Ulil Amri, maka terjadilah berfirqoh-firqoh (cerai-berai). Firman Allah SWT yang bunyi-Nya:

“Dan di antara orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani”, ada yang telah kami ambil perjanjian mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan.”.[13]