Penjelasan dan Statemen Estafeta - II

Legalitas Imam NKA-NII Pasca SM. Kartosoewirjo

Sebelum memahami legalitas pengangkatan Imam NKA-NII pasca SM. Kartosoewirjo, terlebih dulu perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang mengatur tentang hal itu. Dalam Qanun Azasi, Bab IV Pasal 12 ayat 2 berbunyi; “Imam dipilih oleh Majlis Sjuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada seluruh anggota”. Dan dalam Bab II Pasal 4 ayat 1 berbunyi; “Majlis Syuro terdiri atas wakil wakil rakyat ditambah dengan utusan golongan-golongan menurut ditetapkan dengan undang undang”.[14] Maka mekanisme pengangkatan Imam NKA-NII diselenggarakan oleh Majelis Syuro sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu.

Sehubungan Majlis Syuro sesuai dengan maksud pasal 12 ayat 2 dan Undang-undang yang dimaksud pasal 4 ayat 1 belum ada, maka pengangkatan Imam berdasar-kan ketentuan undang-undang tersebut belum dapat dilaksanakan. Dalam Bab II pasal 3 ayat 2 yang berbunyi:

“Jika keadaan memaksa, hak Majlis Suro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah”.[15]

Dengan demikian jika pada masa sekarang menginginkan pengangkatan Imam oleh wakil-wakil rakyat ditambah dengan utusan golongan, maka Dewan Imamah harus terlebih dulu membuat undang-undangnya (maklumat). Sehingga dengan itu jelas ketentuan persyaratan serta lain–lain yang berkaitan dengannya. Hak Dewan Imamah dijamin oleh Bab XV, Pasal 34 dalam hal Cara
Berputarnya Roda Pemerintah. Point 1 berbunyi ”Pada umumnya Roda Pemerintahan NKA-NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan dalam Kanun Asasy dan sesuai dengan pasal 3 dari Kanun Asasy.

Sementara belum ada Parlemen (Majlis Syuro), segala undang-undang ditetapkan oleh Dewan Imamah dalam bentuk Maklumat-maklumat yang ditandatangani oleh Imam“.[16]

Untuk pertama kalinya, Imam Negara Islam Indonesia yaitu Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo terangkat melalui konferensi Cisayong tahun 1948. Pelaksanaan konferensi itu merupakan aplikasi dari sistem Syuro yang diperintahkan Allah SWT sebagaimana dalam firman-Nya. Dan melalui konferensi ini pula, Qanun Azasi (Undang-undang Dasar) Negara Islam Indonesia disahkan.[17]

Sistem pemerintahan NKA-NII yang harus dijalankan oleh Imam sesuai dengan Qanun Azasi dipengaruhi oleh kondisi yang dihadapi. Dimana Qanun Azasi telah melansir adanya dua kondisi yang akan dihadapi, yaitu kondisi normal dan kondisi darurat (perang).[18] Dalam kondisi normal, lembaga tertinggi Negara yang harus ada salah satunya adalah Majelis Syuro. Lembaga inilah yang mempunyai hak, diantaranya untuk merubah Qanun Azasi, memilih Imam, menetapkan Haluan Negara dan menetapkan Undang-undang. Secara general, bila Negara dalam kondisi normal, maka pemerintahan dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang termaktub dalam Qanun Azasi yang tidak mempunyai ilat darurat. Karena kondisinya tidak normal, maka Imam NKA-NII baik yang permulaan maupun yang seterusnya tidak terangkat melalui Majelis Syuro.

Sistem pemerintahan yang pernah berjalan dalam NKA-NII dari sejak terbentuknya pemerintahan tahun 1948 hingga sekarang adalah sistem pemerintahan Dewan Imamah dan sistem pemerintahan Komandemen. Sejak ditetapkan dan diberlakkukan Maklumat No. 7 tertanggal 23 Desember 1948, sistem pemerintahan NKA-NII yang semula menggunakan sistem pemerintahan Dewan Imamah beralih kepada system pemerintahan Komandemen. Oleh karena perubahan sistem ini, maka produk perundang-undangan dinamakan “Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT)” yang ditandatangani oleh Imam/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia (Imam/Panglima Tertinggi APNKA-NII). Adapun produk perundang-undangan dalam masa NKA-NII menggunakan sistem pemerintahan Dewan Imamah dinamakan dengan istilah “Maklumat” atau “Maklumat Pemerintah” dan ditandatangani oleh Imam (tidak dirangkai dengan jabatan Panglima Tertinggi APNKA-NII).[19]

Dua sistem pemerintahan yang pernah berjalan dalam NKA-NII merupakan representasi dari dua kondisi yang dihadapi. Walaupun tidak sepenuhnya normal kondisi yang dihadapi sejak terangkatnya Imam NKA-NII hingga tahun 1948, namun sistem pemerintahan yang diaplikasikan oleh Imam awal adalah sistem pemerintahan Dewan Imamah. Kemudian pasca diproklamasikannya NKA-NII tanggal 7 Agustus 1949, kondisi berubah secara total, dimana kondisinya menjadi fi waqtil harb. Oleh karena itu, sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan sesuai pula dengan penjelasan proklamasi, bahwa Negara Islam Indonesia dalam masa perang (fi waqtil harb), maka system pemerintahan beralih sesuai dengan Maklumat No. 7 tahun 1948.

Untuk lebih memperjelas system pemerintahan dalam masa perang, maka ditetapkan MKT No. 1, tertangal 3 Oktober 1949.[20] Peperangan antara RI dan NKA-NII semakin berkobar hingga tahun 1959. Oleh karena peperangan semakin berkobar, maka sangat berpengaruh terhadap strategi yang harus diterapkan. Dan karena strategi perang telah berubah menjadi perang semesta, perang rakyat seluruhnya (jihad fardhu ’ain) maka susunan komando perang dalam NKA-NII diadakan penyempurnaan. Maka lahirlah MKT No. 11 Tahun 1959. Mengacu pada MKT inilah, kemudian susunan pemerintahan NKA-NII dalam masa perang disebut susunan komando perang “Sapta Palagan”. Secara esensi, lahirnya MKT No. 11 Tahun 1959 tidak berbeda dengan MKT No. 1 Tahun 1949, di mana kedua MKT ini tetap menyatakan berlakunya sistem pemerintahan NKA-NII adalah Komandemen.[21]

Salah satu faktor yang diatur dalam MKT No. 11 Tahun 1959 adalah berkenaan dengan peralihan kepemimpinan tertinggi NKA-NII. Dalam perundang-undangan (maklumat) sebelumnya yang mengatur peralihan kepemimpinan ini tidak ada, kecuali apa yang termaktub dalam Qanun Azasi. Dengan demikian, system yang mengatur peralihan (estafeta) kepemimpinan NKA-NII hanyalah MKT No. 11 Tahun 1959 sebagai undang-undang di bawah Undang-undang Dasar (Qanun Azasi). Adalah sangat illegal (inkonstitusional) bila adanya estafeta kepemimpinan NKA-NII tidak mengacu kepada sistem yang termaktub dalam MKT No. 11 Tahun 1959. Dalam MKT ini dinyatakan, bahwa “K.P.S.I. dipimpin langsung oleh Imam-Plm.T. A.P.N.I.I. Jika karena satu dan lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku penggantinya, dengan purbawisesa penuh”. Selanjutnya teknis pelaksanaannya dinyatakan “Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara Anggota-Anggota K.T., termasuk didalamnya K.S.U. dan K.U.K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukkannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggota Anggota K.T.”.[22]

Mengingat bahwa calon pengganti Panglima Perang Pusat yang tercantum dalam MKT No. 11 Tahun 1959, pasca syahidnya Imam (awal) SM. Kartosoewirjo, maka calon penggantinya tinggal satu yang diketahui keberadaannya, yaitu dari unsur KUKT (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi). Unsur-unsur lainnya, sebagian sudah Syahid dan sebagian lagi telah meninggalkan tugasnya atau desersi dari NKA-NII. Menurut asalnya, KUKT itu lebih dari satu, sesuai kesaksian Abdul Fatah Wirananggapati. Di mana Imam SM. Kartosoewirjo mengatakan kepadanya bahwa KUKT untuk Sulawesi telah diangkat, namun namanya tidak dijelaskan.

Disebabkan namanya tidak dijelaskan serta tidak ada pengakuan atau tidak muncul orang yang mengaku telah diangkat sebagai KUKT selain AFW, maka sebagai bukti nyata bahwa KUKT itu tinggal satu. Sesuai dengan MKT No. 11 tahun 1959, di mana calon pengganti Imam yang tercantum dalam undang-undang tersebut adalah dari unsur KUKT, maka KUKT yang tinggal satu itulah langsung menggantikan posisi Imam dengan purbawisesa penuh, tanpa pemilihan. Jika Abdul Fatah Wirananggapati tidak berstatus Imam/KPSI pasca SM. Kartosoewirjo, maka tidak akan lahir Imam berikutnya, “NKA-NII hanya tinggal dalam kenangan”.

Mungkin pada masa jayanya NKA-NII, tidak terpikirkan bahwa para AKT (Anggota Komandemen Tertinggi) dan yang setarap dengannya akan berguguran, sehingga peralihan kepemimpinan dapat berjalan sesuai dengan mekanisme syuro antara unsur-unsur yang termaktub dalam MKT No. 11 Tahun 1959. Kesimpulan dari peraturan tersebut bahwa pengganti Imam yang berhalangan harus melalui pemilihan para AKT dan para panglima yang setarap dengannya. Karena calon pengganti hanya tinggal satu, maka secara mutlak AFW sebagai KUKT menggantikan Asy-Syahid SM. Kartosoewirjo sebagai Imam/KPSI. Dalam hal ini, bagi mereka yang kedudukannya di bawah AKT atau yang tidak termasuk dalam unsur-unsur yang berhak sebagaimana dinyatakan dalam MKT No. 11 Tahun 1959 adalah tidak mempunyai hak sebagai calon, apalagi menggantikan langsung sebagai Imam.

Calon pengganti Imam SM. Kartosoewirjo dari unsur KUKT hanya tinggal satu, itu disebabkan oleh kondisi. Oleh karena itu bermusyawarah dengan AKT dan para Panglima yang setarap dengan AKT sebagaimana yang dikehendaki MKT No. 11 Tahun 1959 tidak dapat dilakukan. Dalam hukum Islam, apabila adanya faktor keterpaksaan (darurat) adalah dibolehkan untuk tidak menepati sepenuhnya sesuatu yang sudah ditentukan sebatas yang diperlukan.[23] Begitu juga dalam menjalankan undang-undang harus semaksimal mungkin, yang bisa dilakukan harus dijalankan dan tidak terhalang oleh faktor yang tidak bisa dilakukan. Qaidah ushul menyatakan; “Sesuatu yang tidak dapat dijangkau keseluruhannya jangan ditinggalkan keseluruhannya”. Kita diperintah ta’at kepada Allah SWT. semaksimal kemampuan.[24] Bila diimplementasikan kepada pelaksanaan MKT No. 11 Tahun 1959 mengenai estapeta Imam, maka jika terpaksa tidak bisa dijalankan dengan mekanisme musyawarah karena yang berhak hanya tinggal satu (KUKT), maka yang satu itu langsung mengemban jabatan Imam/KPSI. Hal demikian adalah lebih memiliki dasar hukum.

Tentunya para pembuat peraturan dalam NKA-NII, bukanlah manusia yang terjaga dari kekurangan. Sebagai manusia biasa dalam mencapai tujuannya akan melalui tahap pembelajaran. Oleh karena itu dalam menerapkan suatu peraturan buatan manusia tidak sekaligus dalam kesempurnaannya. Khalid bin Walid menjadi Panglima Perang sewaktu Perang Mu`tah diangkat oleh musyawarah sebab peraturannya demikian. Maksudnya, jika Zaid bin Harist bersama dua pengganti yang dicantumkan dalam aturan yang sudah ditetapkan yaitu Ja`far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah Syahid, maka pimpinan perang diserahkan kepada musyawarah para bawahan panglima.[25] Berbeda dengan yang tertera dalam MKT No. 11 Tahun 1959, pelaku musyawarahnya telah ditentukan dan tidak disebutkan (diatur) bagi aparat bawahannya boleh melakukan syuro untuk memilih pengganti Imam yang berhalangan. Seandainya semua calon yang termaktub dalam MKT No. 11 Tahun 1959 itu gugur, bagaimana pula menterapkan MKT 11 Tahun 1959? Maka solusinya adalah ijtihad para mujahid yang memiliki kapasitas sebagai mujtahid. Untuk menghadapi sesuatu yang berada di luar jangkauan perudang-undangan yang telah ditetapkan, maka undang- undang pada suatu waktu menghendaki perubahan guna menghadapi kebutuhan di masa mendatang.

Sehubungan adanya maklumat yang mengatur tentang pengangkatan Imam sehingga memiliki kapasitas dan legalitas, maka saya serukan kepada para pejuang Negara Islam Indonesia agar menta`ati dulu peraturan yang ada sebagaimana yang terhimpun dalam PDB, guna mempersatukan diri.

Dengan demikian kita akan memperoleh kekuatan dalam segala bidang. Juga untuk perbaikan perjuangan sesuai dengan harapan, di mana kita harus dapat mengimbangi perkembangan kondisi dan keadaan.