Penjelasan dan Statemen Estafeta - XI

Kekeliruan dalam Estafeta Kepemimpinan Tahun 1996

Pada tanggal 2 Agustus 1996 Abdul Fatah Wirananggapati bebas dari hukuman pihak lawan. Para aparat dan ummat menyambut dengan gembira. Saya, Muhammad Yusuf Thohiry sebagai Imam/KPSI baru sempat menemuinya pada tanggal 25 Agustus 1996.

Dalam pertemuannya dengan AFW, Muhammad Yusuf Thohiry melakukan kekeliruan langkah karena lupa dan tidak jeli yang berakibat fatal, yaitu Muhammad Yusuf Thohiry menyerahkan jabatan Imam/KPSI kepada AFW.

Berawal dari kekeliruan yang fatal ini akhirnya berdampak kepada terjadinya kekeliruan berlanjut dalam menjalankan pemerintahan. Yang menjadi faktor penilaian kekeliruan dalam penyerahan jabatan Imam/KPSI dari MYT kepada AFW pada tahun 1996 adalah:

Pertama, Penyerahan ini tidak merujuk kepada perundang-undangan yang berlaku dalam NKA-NII;

Kedua, Penyerahan jabatan Imam/KPSI dari MYT kepada AFW juga dinilai keliru karena tidak berdasarkan syuro dengan AKT. Di mana setelah MYT menjabat Imam/KPSI melalui estafeta tahun 1991, telah mengangkat para AKT melalui Maklumat No. I tahun 1994 dan telah membentuk Komandement Tertinggi NKA-NII;

Ketiga, Penilaian kekeliruan juga terkait dengan status AFW sebagai yang menerima jabatan Imam/KPSI yang diserahkan oleh MYT tahun 1996. Di mana AFW pada saat itu tidak berstatus sebagai AKT sesudah jabatannnya diserahkan kepada MYT tahun 1991. Dari itu jelas bahwa penyerahan tersebut inkonstitusional, yakni bertentangan dengan undang-undang;

Keempat, Penilaian kekeliruan juga MYT tidak bisa berbuat tatkala melihat Nota Dinas diterbitkan. Baik secara esensi maupun substansi, Nota Dinas tertanggal 25 Agustus 1996 itu seharusnya tidak diterbitkan.

Kekeliruan dalam arti lupa dan tidak fathonah sebagaimana tersebut di atas berimbas pada bentuk-bentuk kekeliruan lainnya. Kekeliruan ini baru saya sadari pada tanggal 22 Pebruari 2007 setelah mengadakan Muhasabatunnafsi, dan setelah mengevaluasi sejarah pasca bebasnya AFW dari penjara musuh, 2 Agustus 1996.

Melalui penelaahan itu muncul pertanyaan pada diri saya, “Sebagai apa jabatan Abdul Fatah Wirananggapati pada waktu itu?”, “Bagaimana menurut peraturan yang ada dalam MKT No. 11 Tahun 1959, di mana orang yang berhak sebagai pengganti Imam/KPSI mestinya diambil dari dan di antara AKT sedangkan pada waktu penyerahan itu sudah terangkat para AKT, dan AFW bukan salah satu dari AKT?”

Dari pengevaluasian tersebut baru sadar, bahwa saya telah melakukan kekeliruan dengan menyerahkan jabatan Imam/KPSI kepada Abdul Fatah Wirananggapati yang tidak berhak menerimanya.

Setelah menyadari kekeliruan dan kesalahan, saya sampaikan hal itu secara lisan kepada beberapa orang yang dianggap perlu supaya dipikirkan dan dibahas oleh mereka yang sepatutnya membahas dalam pertemuan formal.

Saya memahami jika untuk pembahasannya menunggu beberapa minggu mengingat jadwal pertemuan atau hadirnya personal yang harus hadir. Tetapi diluar dugaan sesudah datangnya waktu pertemuan, serta hadirnya personal yang diharapkan hal itu tidak dibahas dan bahkan ditutup.

Hanya satu orang yang menyetujui untuk dibahas, namun tidak mampu mendesak agar persoalan dibahas dan tidak ditutup. Akan tetapi sangat ironis, persoalan ditutup, namun di luar timbul berbagai tanggapan negatif terhadap saya (MYT).

Harapan adanya pembahasan ditingkat atas adalah agar persoalan tersebut tidak berpengaruh terhadap stabilitas politik -NKA-NII. Stabilitas politik yang menjadi harapan karena apabila terlebih dulu muncul polemik diantara ummat dapat dipastikan resiko dan ongkos politiknya besar dan cukup mahal. Tetapi, lain harapan lain pula kenyataan, hanya Robb-lah yang Maha Mengetahui segala yang akan menimpa kepada Hamba-Nya.

Adanya penilaian terhadap kekeliruan yang saya lakukan, dianggap sebagai kebohongan publik, saya serahkan kepada Robb yang Maha Mengetahui segala yang terjadi serta sebenarnya yang sudah saya lakukan. Begitu juga terhadap tuduhan sebagai manuver untuk kembali menjadi Imam, karena melalui pemungutan suara tidak berhasil.

Maka terhadap semua itu bagi saya cukup Allah Subhanahu wata’ala yang Maha Mengetahui niat sesungguhnya yang ada pada hati saya.

Sungguh, dalam mencapai Mardhotillah, perjuangannya tidak bisa dihentikan oleh berbagai resiko yang menimpa diri. Sebab dari itu meskipun kekeliruan sudah berjalan bertahun- tahun (25 Agustus 1996 – Pebruari 2007), mengingat pertanggung-jawaban kepada Rabbull`alamiin di Akhirat kelak, juga secara moral kepada seluruh mujahid NKA-NII khususnya dan umat Islam umumnya maka saya kemukakan penjelasan untuk diketahui, dipahami dan mendapatkan maaf dari para Mujahid NKA-NII dimanapun adanya.

Serta dengan ini saya istighfar kepada Allah Subhanahu Wata`ala.

Untuk selanjutnya saya harus menyatakan sikap dan mendakwahkan kebenaran yang saya temukan.

Penjelasan Kedua:

Untuk Mereka yang Mencari Kejelasan dan Kebenaran

Para praktisi politik dan birokrat NKA-NII dalam tataran praktis masih banyak yang tidak memahami esensi dan substansi peraturan perundang-undangan. Bahkan termasuk di dalamnya banyak yang tidak memahami perbedaan makna antara istilah yang satu dengan istilah lainnya yang termuat dalam peraturan perundang-undangan.

Salah satu yang perlu untuk jelaskan berkenaan dengan penggunaan istilah ”Dewan Imamah” dan istilah ”Komandemen Tertinggi”. Dua istilah ini, baik esensi maupun substansi memiliki makna yang sama, akan tetapi perbedaannya dalam aplikasi.

Qanun Azasi NKA-NII, secara umum menjelaskan bahwa berjalannya pemerintahan dipengaruhi oleh dua kondisi, yaitu kondisi normal (aman) dan kondisi darurat (perang).

Dua kondisi ini sangat berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang harus berjalan. Dalam Bab XV tentang Perubahan Qanun Azasi Pasal 34 menerangkan;

“Cara Berputarnya Roda Pemerintah, “Pasal 1; Pada umumnya Roda Pemerintahan NII berjalan menurut dasar yang ditetapkan dalam “Kanun Azasy, dan sesuai dengan pasal 3 dari “Kanun Azasy, sementara belum ada Parlemen (Majlis Syura), segala Undang-undang ditetapkan oleh Dewan Imamah dalam bentuk Maklumat-Maklumat yang di tandatangani oleh Imam”. Menurut Qanun Azasi itu, bahwa hak Dewan Imamah yaitu membuat Undang-undang dalam bentuk Maklumat yang ditandatangani oleh Imam, selama Majelis Syuro belum ada. Juga Dewan Imamah yang dikepalai oleh Imam mempunyai hak menjalankan Roda Pemerintahan NKA-NII.

Sejak dikeluarkannya Maklumat No. 7 Tahun 1948, sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Imam telah beralih kepada sistem Komandemen. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh tuntutan kondisi NKA-NII yang sedang berada dalam masa perang.

Maka dari sejak saat itu hingga sekarang, sistem pemerintahan NKA-NII yang dijalankan oleh Imam adalah sistem pemerintahan Komandemen. Oleh karena itu, produk perundang-undangan yang diterbitkan Komandemen Tertinggi NKA-NII tidak dinamakan ”Maklumat” atau ”Maklumat Pemerintah”, akan tetapi dinamakan ”Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT)”. Produk perundang-undangan Komandemen Tertinggi, selain MKT juga ada yang dinamakan ”Penetapan Komandemen Tertinggi (PKT) dan Maklumat Militer (MM)”.

Komandemen Tertinggi dalam menjalankan roda pemerintahan harus mengacu kepada Maklumat-maklumat yang sudah ditetapkannya, baik Maklumat yang diterbitkan pada masa berjalannya sistem pemerintahan Dewan Imamah atau dalam masa berjalannya sistem pemerintahan Komandemen. Hingga tahun 1996, Maklumat-maklumat yang mengatur tentang peralihan kepemimpinan hanya diatur oleh MKT No. 11 Tahun 1959. Penyerahan jabatan Imam/KPSI dari MYT kepada AFW pada tanggal 25 Agustus 1996 dapat dinyatakan tidak sah, karena tidak mengacu kepada MKT No. 11 Tahun 1959.

Jabatan Imam/KPSI adalah jabatan negara yang dijamin oleh perundang-undangan. Dalam aplikasinya penyerahan jabatan tersebut, bukan seperti menyerahkan sesuatu makanan, bila sudah diberikan kepada yang lain bisa dikatakan sah. Yang dimaksud dengan istilah ”purbawisesa penuh” dalam MKT No. 11 Tahun 1959 ialah kekuasaan penuh dalam urusan kenegaraan, maka sah atau tidaknya tindakan Imam dilihat dari kaca mata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perhatikan Kanun Azasy Bab IV Pasal 10 “Imam Negara Islam Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut Kanun Azasy sepanjang hukum Islam”.

Dalam Islam dikenal istilah “Nasih dan mansuh”, bahkan Allah SWT. pun menggunakan istilah ini dalam hukumnya. Sebagai contoh tentang hukum Sholatul lail, semula shalat ini wajib, kemudian menjadi sunnah mu’akad. Demikian halnya dalam tata hukum kenegaraan bahwa undang-undang baru berfungsi menggantikan undang-undang lama. Akan tetapi, sesuai dengan istilah nasih dan mansuh, bila perundang-undangan yang baru memansuh seluruh perundang-undangan yang lama, maka perundang-undangan yang lama total tidak berlaku. Namun, bila perundang-undangan yang baru hanya memansuh sebagian isi dari perundang-undangan yang lama, maka perundang-undangan yang lama, sebagiannya masih tetap berlaku. Maklumat-maklumat yang ditetapkan oleh Imam/KPSI, Muhammad Yusuf Thohiry baru tiga, yaitu: 1) MKT No. I tertanggal Rajab 1415 H./17 Desember 1994 M. perihal Susunan Dewan Imamah; 2) MKT No. II tertanggal 1 Ramadhan 1415 H./ 1 February 1995 M. perihal Program Kerja; dan 3) MKT No. III tertanggal 17 Syawal 1415 H. / 19 Maret 1995 M. perihal Susunan Aparat serta Tugas dan Tanggung-jawabnya.

Ketiga maklumat di atas tidak mengatur pergantian kepemimpinan. Oleh karena itu perundang-undangan yang mengatur estafeta kepemimpinan hingga sekarang masih mengacu kepada MKT No.11 Tahun 1959, bunyinya: “K.P.S.I. dipimpin oleh Imam – Plm.T. A.P.N.I.I. jika karena dan satu lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku Penggantinya dengan purbawisesa penuh.” dan “Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diantara Anggota-Anggota K.T.. termasuk didalamnya K.S.U. dan K.U.K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggota-Anggota K.T..”

Dengan demikian cukup jelasnya, bahwa sebelum tanggal 25 Agustus 1996 belum ada perundang-undangan yang mengatur penyerahan Imam/KPSI kepada seseorang tanpa dipilih dari dan diantara (para Kepala Majlis) yang tercantum dalam MKT No. I, 17 Desember 1994. Perhatikan siapa-siapa saja yang tercantum dalam MKT tersebut. Pengertian “Purbawisesa Penuh” yaitu kekuasaan penuh, artinya yang tadinya setaraf dengan AKT, bila sudah ditunjuk maka memiliki kekuasaan penuh sebagaimana Imam. Namun, tetap bertindak dalam koridor perundang-undangan yang berlaku.

Perihal asumsi AFW masih menyandang jabatan KUKT hingga tahun 1996 merupakan suatu kekeliruan yang sangat mendalam. Dalam MKT No. 11 Tahun 1959, cukup jelas bahwa apabila Imam berhalangan, penggantinya adalah dari unsur-unsur AKT, KSU, KUKT dan Para Panglima yang setarap dengan AKT. Dengan demikian AFW sejak saat itu, bukan lagi sebagai KUKT. Akan tetapi secara otomatis demi hukum beliau telah menjadi Imam/KPSI. Secara tertulis memang tidak terdapat surat/lembaran Negara tentang pemberhentian KUKT. Akan tetapi secara tersirat, jabatan KUKT AFW sudah berganti menjadi Imam/KPSI. Karena AFW memiliki kedudukan sebagai Imam/KPSI yang didasari oleh jabatan KUKT-nya. Kemudian jabatan Imam/KPSI-nya itu sudah diestafetakan kepada MYT. Bila ada asumsi bahwa jabatan KUKT selama dalam penjara musuh, tahun 1991-1996 hingga bebas masih disandang oleh AFW, maka tidak ada pergantian Imam, dan tentu MYT pun bukan Imam/KPSI, serta tidak akan ada MKT No.I Tahun 1994 yang ditandatangani oleh Muhammad Yusuf Thohiry sebagai Imam/KPSI.

Sungguh tidak bisa disamakan posisi AFW sesudah keluar dari penjara Nusakambangan 1953–1962 dengan keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung tahun 1991–1996. Bukti secara tersirat adalah adanya MKT. No.I Tahun 1994 dan Muhammad Yusuf Thohiry yang menandatanganinya adalah sebagai Imam/KPSI, bahkan bukan “Atas Nama”.

Bila dalam brosur TABTAPENI atau RUNISI 2, disebutkan tidak ada bukti pemberhentian terhadap KUKT Abdul Fatah Wirananggapati dari sejak diangkatnya tahun 1953 sampai tertangkapnya Imam S.M.Kartosoewirjo, 4 Juni 1962. posisi AFW pada waktu itu belum menjadi pengganti Imam, melainkan KUKT yang tugasnya diambil oleh Imam. Berbeda dengan keadaan sewaktu KUKT AFW sesudah posisinya menjadi Imam, maka jabatannya bukan lagi KUKT!

Jadi, istilahnya bukan pemberhentian, tetapi penggantian jabatan. Bukti dirinya sebagai Imam karena dirinya telah menyatakan purbawisesa penuh! Artinya, jika masih sebagai KUKT, maka tidak purbawisesa penuh. Perhatikan, “ K.P.S.I. dipimpin oleh Imam – Plm. A.P.N.I.I. jika karena satu dan lain hal ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorangPanglimaPerang, selaku penggantinya dengan purbawisesa penuh.” Dari maklumat itu mengandung arti bahwa untuk purbawisesa penuh, syaratnya adalah terlebih dulu menjadi pengganti Imam yang berhalangan.

Jadi, berdasarkan undang-undang itu bahwa hak purbawisesa penuh hanya pada Imam pengganti dalam masa darurat! Ada penggantian berarti ada pemberhentian, dan penggantian dijamin oleh undang- undang.

Bila ada pandangan bahwa AFW bukan Imam dengan alasan bahwa “AFW tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Imam. Beliau tetap sebagai KUKT yang dengan purbawisesa penuh mengangkat Dewan Imamah untuk melengkapi struktur Dewan Imamah yang tinggal satu orang”.

Maka, siapapun yang mengatakan hal itu hanya pendapat pribadi, tidak berdasarkan undang-undang. Jika suatu pendapat tidak didasari undang-undang (hukum), maka tidak dapat dijadikan rujukan karena senantiasa berubah sesuai dengan kepentingannya. Sebab itu kewajiban bagi setiap yang konsisten pada undang-undang, harus mengengembalikannya kepada yang sesuai dengan undang-undang.

Kewajiban kembali mengikuti sistem (undang-undang). Dalam hal ini MYT menanggapi pernyataan AFW dalam At-Tibyaan, 1987. Bahwa dirinya sebagai “EKSEN DISINA” (Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia), dalam arti lain adalah “Pimpinan Pusat Negara Islam Indonesia”. Mengenai hal itu pada mulanya MYT setuju dengan pendapat bahwa AFW bukan Imam, karena tidak menyatakan diri sebagai Imam, melainkan Eksekutif Sentral, yang maksudnya sama dengan Imam. Dalam arti tidak menggunakan kepemimpinnya dengan istilah Imam, melainkan dengan istilah “Eksekutif Sentral” yang sama dengan artinya bahwa KUKT AFW sudah menjadi KUKT yang berfungsi Eksekutif Sentral, sehingga memiliki nilai Imam.

Akan tetapi, setelah saya melakukan penelaahan guna konsisten pada undang–undang, maka diketahui bahwa pernyataan sebagai “Eksekutif Sentral” hanyalah pernyataan pribadi dalam suatu keadaan. Dan itu tidak merujuk kepada perundang-undangan NII, di mana dalam perundang-undangan NKA-NII tidak didapati istilah “Eksekutif Sentral”, melainkan yang ada ialah istilah “Imam/KPSI”. Istilah “Eksekutif Sentral” yang bersifat temporer itu buktinya, dalam sebuah surat yang ditandatangani oleh Abdul Fatah Wirananggapati dalam bahasa Arab yang ditujukkan kepada Pemimpin Iran melalui perwakilnya di Jerman tertulis, “Amirul Harbi Daulatul Islami Indonesia”.

Dan itu mengandung maksudnya sesuai dengan kalimat Komandemen Perang Seluruh Indonesia (KPSI) yang ada dalam MKT No.11 Tahun 1959, dan K.P.S.I. itu dipimpin oleh Imam. Jadi, setelah memahami bahwa hal itu tidak sesuai dengan undang-undang, maka kita harus mengembalikannya kepada yang sesuai dengan undang-undang, yakni bahwa setelah para AKT atau yang setaraf dengannya tidak ditemukan, maka KUKT AFW langsung menduduki jabatan sebagai Imam/KPSI. Dengan itu bukan KUKT lagi, bukan pula “Eksekutif Sentral” yang memiliki nilai Imam, tetapi beliau adalah Imam sesungguhnya setelah SM. Kartosoewirjo. Dengan demikian sungguh salah bila AFW disebut sebagai Imam ketiga, dan MYT Imam kedua. Yang benar adalah Abdul Fatah Wirananggapati Imam kedua NKA-NII, dan Muhammad Yusuf Thohiry Imam ketiga NKA-NII. Mengapa demikian? Karena Muhammad Yusuf Thohiry menerima estapeta kepemimpinan dari dari Imam/KPSI Abdul Fatah Wirananggapati.

Soal keharusan kembali mengikuti sistem/undang-undang, hal demikian sudah dilakukan oleh para aparat yang dipimpin MYT sebelum adanya pengangkatan para AKT dalam MKT No.1 Tahun 1994.

Pada tahun-tahun sebelum dikeluarkan maklumat tersebut telah terasa oleh para aparat kerancuan mengenai sebutan “KUKT dengan purbawisesa penuh”. Dari itu banyak anjuran bahwa sebutan itu harus dirobah dari KUKT menjadi Imam.

Sebab, bila yang berhak menjadi Imam tinggal satu karena para AKT, atau yang setaraf dengannya tidak ada kecuali KUKT maka KUKT itu langsung sebagai Imam dengan purbawisesa penuh. Jadi, purbawisesa itu hak Imam. Sebagaimana urutan kata-kata dalam peraturannya,”...maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku Penggantinya dengan purbawisesa penuh”. Dengan itu jelas bahwa untuk purbawisesa penuh itu harus sudah menjadi pengganti Imam, yakni adanya pergantian jabatan dari KUKT menjadi Imam. Padahal sebelumnya saya merasa susah memikirkan ungkapan bahwa “AFW bukan Imam”, juga “KUKT dengan purbawisesa penuh”, dan “atas nama Imam”.

Sehingga timbul pertanyaan,

“Imam yang mana?”
Dan mana Imam?
Kalau begitu kapan menjalankan MKT No.11 Tahun 1959?

Lebih pelik lagi ketika merencanakan pengangkatan para AKT. Saya diingatkan oleh seseorang, katanya, ”Masa iya KUKT mengangkat para AKT”. Maksudnya, kalau AFW masih KUKT, maka MYT juga sebagai estafetanya adalah KUKT dan tidak purbawisesa penuh. Sedangkan usulan dari bawah telah saatnya terbentuknya susunan para Kepala Majelis (AKT). Pada saat-saat itu saya teringat kepada prinsip bahwa yang harus diikuti ialah perundang-undangnya, bukan pernyataan dari seorang figur atau pemimpin, maknanya bila pernyataannya tidak sesuai dengan peraturan, maka jangan dituruti, bahkan harus diluruskan.

Dengan prinsip tersebut, maka saya mengambil sikap sesuai dengan pengajuan para aparat, bahwa AFW adalah Imam, dan bukan KUKT lagi.

Sesudah memiliki kepastian dalam hal AFW bukan KUKT lagi, kemudian saya mengadakan pertemuan aparat di Sadang Serang-Bandung. Sdr. Hasan pada saat itu tidak menghadiri, karena keberadaannya di luar Pulau Jawa. Dalam pertemuan itu MYT mengemukakan pernyataan bahwa AFW bukan KUKT lagi, melainkan Imam, karena para AKT atau yang setarap dengannya telah tiada.

Mendengar pernyataan itu, peserta pertemuan merasa lega, terdengar ucapan Alhamdulillah. Sesudah ada kesepakatan dalam hal penyebutan Imam dan bukan KUKT, kemudian dijadwalkan pengangkatan para Kepala Majelis.

Disebabkan keharusan adanya kesamaan persepsi dalam hal estafeta kepemimpinan bagi seluruh aparat dan ummat, beberapa bulan sebelum AFW bebas dari penjara musuh, MYT menulis brosur TABTAPENI yang pertama dikeluarkan Tahun 1996, isinya khusus menjelaskan estafeta kepemimpinan NII pasca Imam Awal. Dalam brosur tersebut dinyatakan, “Disebabkan calon pengganti Imam yang tercantum dalam undang-undang itu tinggal satu lagi yakni K.U.K.T., maka K.U.K.T. itulah yang langsung menjadi Imam tanpa adanya pemilihan dari manapun.

K.U.K.T. yang satu itu ialah Abdul Fatah Wirananggapati. Undang-undang mengenai pemilihan Imam dalam Darurat Perang sudah dituangkan ke dalam M.K.T. No. 11, tahun 1959. Dengan demikian sekalipun dalam darurat sehingga Dewan Imamah tidak berfungsi karena anggotanya banyak yang gugur, maka penggantian Imam tetap berlangsung”. Begitu saya mendengar AFW bebas, segera saya sampaikan kepadanya beserta MKT No.1 Tahun 1994, MKT No. II Tahun 1995 dan MKT. No. III Tahun 1995 via orang lain.

Penyampaian dengan segera kepadanya dimaksudkan supaya didapati pemahaman yang sama dengannya dalam hal estafeta Kepemimpinan NII menurut MKT No. 11 Tahun 1959. Alhamdulillah, hasilnya terdapat kesepakatan, bahkan dikatakan oleh AFW bahwa isinya bagus sekali.

Saya menerima laporan itu dari Pak Kasid (Almarhum), setelah kembali dari pengecekannya. Dengan demikian sejak itu secara tersirat pernyataan sebagai “Eksekutif Sentral” dalam At-Tibyaan, juga “Atas nama Imam”, sudah dihapus atau tidak diberlakukan dan diganti dengan satu kata yaitu Imam. Benar sekali laporan almarhum Pak Kasid, sebab ketika saya bertemu dengan AFW, dikatakan olehnya bahwa yang ada di buku itu harus dihapal (yang dimaksud ialah intinya).

AFW mengetahui bahwa TABTAPENI sudah tersebar luas, dan AFW tidak pernah membantah isi buku itu, karena secara faktual peraturan, bahwa adanya purbawisesa itu setelah tampil sebagai Imam. Suatu pernyataan atau pendapat, bisa terus dipertahankan kebenarannya bukan karena keluarnya dari seorang figur pemimpin, melainkan karena sesuai dengan fakta dan selama masih bisa diterima secara logika sehingga realistis dalam mengaplikasikannya. Adapun terhadap sanggahan, bahwa tidak ada undang-undang penggantian Imam secara otomatis, jawabnya beberapa hal:

1. Harus dipaham bahwa para pembuat undang-undang itu manusia yang tidak sempurna, tidak terbayang bahwa para AKT atau yang setaraf dengannya akan tinggal satu lagi, sehingga tidak dibuat undang-undang Pengganti Imam secara otomatis, jika tinggal satu maka yang satu itu sebagai Imam.

2. Terjadinya Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) atau yang setarap dengannya tinggal satu yaitu KUKT merupakan keterpaksaan kondisi sehingga tidak bisa bermusyawarah bersama yang setarap dengannya sebagaimana yang tertera dalam MKT NO.11 Tahun 1959.

3. Dalam hukum Islam bahwa keterpaksaan membolehkan tidak menepati sepenuhnya sesuatu yang sudah ditetapkan dengan sebatas yang diperlukan. Begitu juga menjalankan perundang-undangan harus semaksimal mungkin, yakni yang bisa dilakukan harus dijalankan tidak terhalang oleh hal yang tidak bisa dilakukan. Dalam kaidah usulnya disebutkan,“Sesuatu yang tidak dapat dijangkau keseluruhannya jangan ditinggalkan keseluruhannya”.

4. Kita diperintahkan untuk taat kepada Alloh S.w.t. semaksimal usaha kemampuan (Q.64:16). Maknanya, harus melakukan yang bisa dikerjakan, jangan berdiam karena ada bagian yang tidak bisa dikerjakan. Dihubungkan dengan pelaksanaan pengantian Imam, jika tidak bisa dengan mekanisme ditunjuk dan diangkat karena yang menunjuk atau mengangkatnya tidak ada, maka calon itu langsung menjadi Imam. Sebenarnya, hal seperti ini lumrah terjadi dalam tata kehidupan bermasyarakat, bahwa keterpaksaan tidak selalu menunggu peraturan, atau tidak mesti sepenuhnya berdasarkan perundang- undangan. Sebab, waktu terus berjalan, Al Qur’an juga melegitimasi keharusan berbuat dengan semaksimal kemampuan, termasuk kepada para pembuat peraturan dengan kelebihan serta kekurangannya.

5. Sudah terbukti sesuai dengan urutan kata-kata bahwa purbawisesa itu jika sebagai pengganti Imam, yakni bukan masih sebagai KUKT. Dan sudah teruji bahwa sebutan “AFW sebagai KUKT bukan Imam”, sungguh rancu serta membingungkan dan tidak bisa diterapkan, sehingga sebutan itu dijadikan alasan bagi mereka yang menolak kepemimpinan AFW sebagai estafeta dari Imam Awal SM Kartosoewirjo. Padahal kita diharuskan mempermudah persoalan dan jangan mempersulit persoalan yang mengakibatkan terus menunggu- nunggu terbentuknya Imam hasil mekanisme musyawarah, karena tidak mau menggunakan mekanisme otomatis. Mereka lupa bahwa pembuat undang-undang itu adalah manusia yang wawasannya sesuai dengan kondisi jamannya.

6. Bagi mujahidin NII lebih mendahulukan berpegang kepada Al-Qur’an Surat 64 ayat 16, serta kaidah ushul hasil kesepakatan para ulama terdahulu yang sudah disepakat oleh semua pihak sampai dewasa ini daripada mengutik-ngutik tidak ada aturan mekanisme otomatis. Padahal, jika bisa mencermatinya bahwa Ayat Al-Qur’an serta kaidah usul yang disebutkan tadi secara tersirat mengandung makna “mekanisme otomatis”, yang bisa diterapkan dalam berbagai hal.

Kesimpulan dari semua poin di atas, meskipun penggantian Imam secara langsung dengan menggunakan mekanisme otomatis tidak terdapat dalam MKT. No.11 Tahun 1959, namun mekanisme otomatis itu tersirat dalam Al-Qur’an, karena sudah menjalankan undang-undang sebatas yang mampunya untuk dijalankan, seperti halnya, yaitu disebabkan calon pengganti Imam itu tinggal satu lagi yakni KUKT Abdul Fatah Wirananggapati, maka pengangkatan Imam itu tidak bisa dengan mekanisme diangkat dan ditunjuk karena yang mengangkat dan menunjuknya juga harus calon yang setarap dengannya. Dengan ketidakbisaan menggunakan mekanisme diangkat dan ditunjuk maka yang masih bisa (mampu dijalankkan) ialah dengan mekanisme otomatis yakni langsung KUKT. Abdul Fatah Wirananggapati otomatis sebagai Imam.

Para pembuat undang-undang merupakan manusia biasa yang tidak sempurna dalam memprediksi kejadian masa mendatang sehingga tidak memperhitungkan bahwa calon Imam bakal tinggal satu lagi. Sebab itu, sesuai dengan Al-Qur’an bahwa sebagai mukminin diperintahkan menjalankan kewajibannya, menterapkan undang-undang dalam mengabdi kepada Rabb-nya sebatas yang bisa diterapkan. Sehubungan dengan itu maka para ulama salaf mengeluarkan kaidah ushul, “Sesuatu yang tidak bisa dijangkau keseluruhannya jangan ditinggalkan keseluruhannya”. Negara Islam Indonesia ini berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi S.a.w. maka penggantian Imam secara langsung, yakni Abdul Fatah Wirananggapati sebagai Imam, dan bukan KUKT lagi hal itu tidak menyalahi Al-Qur’an, karena sudah menjalankan sebatas yang bisa diterapkan dalam undang-undang. Dengan tidak menyalahi A Qur’an itu maka estafeta kepemimpinan Negara Islam Indonesia terus berlanjut sesuai dengan undang-undang sebatas yang bisa dijalankan.

Sungguh ijtihad MYT pada tanggal 25 Agustus 1996, menyerahkan kepemimpinan kepada AFW karena saat itu mengingat bahwa KSU (Kepala Staf Umum) Sanusi Partawidjaja pun pernah memegang kendali kepemimpinan NII, setelah menerima amanat dari SM Kartosoewirjo, kemudian sesudah Imam Awal itu kembali dari menunaikan tugasnya maka KSU menyerahkan kembali kendali kepemimpinan kepada Imam SM Kartosoewirjo. Adapun kasus 25 Agustus 1996, pada waktu itu tidak disadari oleh Muhammad Yusuf Thohiry bahwa hal yang terjadi pada AFW pada Tahun 1991 berbeda kasusnya dengan yang dilakukan oleh Imam Awal. Yaitu, bahwa Abdul Fatah Wirananggapati tertangkap musuh sehingga tidak bisa menunaikan tugasnya, sedangkan Imam SM Kartosoewirjo tidak dalam cengkraman musuh, melainkan sedang menunaikan tugasnya, posisinya tetap sebagai Imam. Jadi, yang dilakukan oleh Muhammad Yusuf Thohiry berbeda dengan yang dilakukan oleh KSU Sanusi Partawidjaja dalam kasus. Dengan demikian yang dilakukan oleh Muhammad Yusuf Thohiry adalah salah, yakni bertentangan dengan MKT No.11 Tahun 1959.

Dalam MKT No.1 Tahun 1994 tertera kalimat “Muhammad Yusuf Thohiry selaku pengganti K.P.S.I. karena K.P.S.I. yang berhak sedang berhalangan”. Pengertian “K.P.S.I. yang berhak”, dalam hal itu ditujukan kepada AFW sebelum dirinya berhalangan, yakni sebelum tertangkap musuh, atau sebelum kepemimpinannya beralih kepada MYT, sebab sebelum jabatan tersebut beralih dari AFW maka MYT bukan haknya sebagai KPSI. Ditanda-tanganinya MKT No. I Tahun 1994 merupakan tanggung jawab Muhammad Yusuf Thohiry sebagai Imam/KPSI. Bila AFW selama dalam penjara musuh, 1991-1996 masih dinyatakan sebagai KPSI yang berhak berarti MYT bukan KPSI, berati pula MKT No. I Tahun 1994 tidak sah sebab tidak ada KPSI dua dalam satu masa kekuasaan. Jadi, jelas bahwa pengertian kalimat ”K.P.S.I. yang berhak sedang berhalangan” itu ditujukan kepada AFW sebelum ada penggantinya. Perhatikan tandatangan MKT No. I Tahun 1994 bukan atas nama Imam, melainkan langsung Imam/KPSI. Kata “berhalangan” dalam MKT No.1 Tahun 1994 itu mengacu kepada MKT No.11 Tahun 1959, bunyinya: “K.P.S.I. dipimpin oleh Imam- Plm.T. A.P.N.I. jika karena dan satu lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku Penggantinya dengan purbawisesa penuh”. Dalam keadaan purbawisesa penuh itu yang berhak sebagai KPSI hanya satu, juga tetap dalam koridor undang-undang. Dengan demikian bilamana ada pergantian KPSI, sedangkan Komandemen Tertinggi yang terdiri dari KSU, AKT atau yang setarap dengannya sudah terbentuk maka cara pengangkatannya harus melalui prosedur sesuai dengan MKT No.11 Tahun 1959, kecuali jika sudah ada pengganti peraturan tersebut.

Saya (MYT), saat menandatangani MKT No.1 Tahun 1994 tidak mengatasnamakan Imam, melainkan langsung Imam. sebab berdasarkan sunnah, bila seorang Panglima Tertinggi dalam Islam yang konsisten dalam arti tidak seperti Amar bin Yasir, jika ditangkap musuh maka dirinya akan divonis mati seperti Nabi Ibrohim as. dan Zakaria as. Sehubungan dengan itu apa gerangan yang terjadi bila seorang Imam/KPSI ditangkap musuh kemudian dibebaskan setelah jatuh nilai dari kepemimpinannya sehingga menjadi ummat, sedangkan penggantinya hanya mengatasnamakan Imam, maka manakah Imam?. Dari itu seharusnya berdasarkan undang-undang, bila posisi seseorang telah menjadi ummat maka jika akan kembali lagi menjadi Imam/KPSI harus terlebih dulu diangkat sebagai KSU, AKT, KUKT atau yang setarap dengan AKT, kemudian ditunjuk dan diangkat diantara mereka yang ada. Tidak ada peraturannya dalam NKA-NII, seorang ummat dapat diangkat langsung sebagai Imam, sedangkan para AKT sudah ada sebagaimana termaktub dalam MKT No.1 Tahun 1994.

Pada tahun 1997 terjadi pertemuan yang dihadiri oleh AFW, ZH, D, H, dan MYT di Bekasi. Pada saat itu ZH bertanya kepada MYT, mengapa AFW diadili dari hal pernyataannya mengenai Pancasila, padahal sebelum beliau keluar dari penjara telah menandatangani pernyataannya tentang Pancasila yang nilainya tidak kurang dari yang tertera dalam Majalah UMMAT, 9 Desember 1996? Dikatakan lagi olehnya sebagai tahanan politik tidak akan dibebaskan sebelum menandatangani pernyataan kesetiaan terhadap ideologi Pancasila. (AFW divonis penjara 6 tahun sampai tahun 1996 di Kebon Waru dan Sukamiskin di Bandung dibebaskan bersyarat oleh Menkeh Utoyo Usman melalui pembuatan makalah mengenai Pancasila, jaminan keluarga dan uang Rp. 1.000.000. Pada 4 Desember 1999 ia dinyatakan bebas murni.[44] Dari pertanyaan ZH, saya (MYT) menjawab, sewaktu bapak (AFW) masih dalam penjara musuh, posisi bapak bukan sebagai Imam, melainkan sebagai Amar bin Yasir (ummat), maka apa yang dinyatakan di dalam penjara itu tidak dipermasalahkan. Akan tetapi, dalam hal kasus pernyataan yang dimuat dalam Majalah UMMAT, posisi bapak sudah menjadi Imam. Bila menyangkal, saya akan membuktikannya (sambil MYT akan membuka tas).

Namun, hal itu terhenti setelah AFW membenarkan jawaban MYT. Sesudah tuntas yang dipermasalahkan maka MYT bersama AFW pindah ke ruangan khusus guna memberikan tausyiah secara bergilir kepada hadirin yang sudah nunggu. Harus saya kemukakan di sini bahwa setelah saya mengetahui AFW bebas dari penjara musuh, pertama yang saya selidiki yaitu dengan cara apa AFW dibebaskan. Pada waktu itu jawaban yang saya dapati hanya dengan jaminan keluraga serta uang satu juta rupiah. Adapun pertanyaan saya mengenai Pancasila seperti halnya penandatanganan makalah Pancasila?

Pada ketika itu jawabannya tidak! Sungguh, sekiranya saya (MYT) tahu keadaan sebenarnya sebagai mana yang dikemukan ZH ketika di Bekasi, atau seperti tertera dalam majalah KIBLAT tersebut di atas maka tentu sejarahnya tidak seperti yang dibaca sekarang ini. Tapi, mungkin saja terungkapnya kekeliruan mengenai Nota Dinas, 25 Agustus 1996 hakekatnya disebabkan penentuan nilai yang masih tersembunyi sehingga terjadi ketidakmulusan dalam perjalanannya. Robb juga yang Maha Mengetahui sesungguhnya.

Ijtihad atau pemikiran bisa berubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi, meski perubahan itu terjadi sesudah lebih dari 10 tahun. Pasti hal itu tergantung kadar kompetensi para pelaku ijtihad. Karena itu didapat istilah Qaullun Qodim dan Qaullun Jadid. Kompetensi seseorang bisa mengalami perubahan sesuai pengalaman yang dijalaninya, seperti halnya :

1. Menerima pertanyaan yang belum terjawab dengan dasar hukum, dan terus mencarinya sehingga menemukan jawaban yang diyakininya.

2. Menghadapi langkah yang dianggap tidak realistis, tapi sulit dipecahkan karena berbenturan dengan peraturan yang sudah ditetapkan.

3. Menampung beberapa masalah atau usulan yang semuanya terakumulasi sehingga mengadakan Muhasabatun Nafsi (pengengevaluasian diri) dalam melangkah yang berkaitan dengan lembaga negara.

Maka, bila pada awal-awal penyerahan tanggal 25 Agustus 1996 tidak ada masalah dan seolah-olah disepakati, karena pada waktu-waktu itu belum terdapat beberapa faktor yang mendorong untuk Muhasabah atau tidak ada yang mengkritisi secara langsung, atau juga penyerahan belum teruji dalam perjalanannya. Bagi saya bersyukur kesalahan terungkap, pisik masih dalam kondisi segar bugar, masih bisa menjelaskan serta mengadakan perbaikan. Seandainya hal itu baru terungkap sesudah terasa ajal mendekat, jangankan untuk menulis, bicara pun tidak jelas? Alhamdulillah kesempatan perbaikan masih ada.

Bagi yang bertujuan mencapai Mardhotillah tidak akan merasa rugi bila sudah bertahun-tahun baru diketahui ijtihadnya salah. Karena, jika ijtihadnya itu benar maka ganjarannya dua, dan jika salah maka satu. Dalam Islam tidak ada larangan bagi seseorang menuturkan ijtihad yang salah meski baru disadarinya sesudah masa lebih sepuluh tahun. Bahkan ada yang berkata jika hal yang salah tidak dijelaskan maka akan terus membawa ribuan orang tersesat berkelanjutan. Jika tidak dijelaskan bagaimana pertanggung-jawaban pelakunya di Akhirat? Soal menerima atau tidak bukan tanggung jawab yang menjelaskan!

Para pakar politik dunia (internasional) telah memahami bahwa dalam negara berjuang senantiasa terjadi perubahan politik seiring perkembangan dalam segala hal. Sebab itu kepercayaan mereka terhadap sekedar informasi bukan harga mati. Mereka paham tentang makna propokasi dan propaganda, sehingga tidak semua tayangan lembaran yang telah dibaca akan sesuai dengan yang sebenarnya. Dan akhirnya yang mereka nilai yaitu yang sudah terbukti Idhar di lapangan, dan bukan sekedar baru tulisan dalam segala bentuk mekaniknya. Dengan demikian mereka paham pula bila isi dokumen dunia tentang negara berjuang manapun senantiasa berubah. Yang paling penting bahwa tanggung jawab para pejuang NII yang utama bukan kepada para pengamat politik dunia, tetapi kepada Allloh Subhanahu wata’ala, sehingga bila terdapat kekeliruan dalam melangkah maka wajib melakukan perbaikan. Selaku Khalifah fil Ardh maka dunia internasionallah yang harus dikendalikan ! Bukan mengikuti faktor keterlanjuran.

Kekeliruan MYT yang baru terungkap sesudah sepuluh tahun adalah lumrah bila muncul berbagai tanggapan atau tuduhan negatif terhadap saya. Begitu pula adanya penilaian sebagai pemimpin yang tidak memilik kompetensi serta penilaian lain-lainnya maka semua tanggapan yang negatif serta macam-macam penilaian dengan segala konsekuensinya sama sekali tidak berarti, pasti dianggap sirna jika dibandingkan dengan beban di Akhirat dari hal menyembunyikan kekeliruan yang sudah disadari sehingga menjadi kebohongan terhadap publik. Yakni, mengaku berkonstitusi padahal sudah terdapat ganjalan hukum dalam perjalanannya.

Perhatikan ayat “Hai orang-orang yang beriman, kenapa kamu berkata hal-hal yang kamu tidak kerjakan?”. “Amat besar kemurkaan disisi Alloh, kalau kamu hanya mengatakan tanpa memperbuatnya”.[45].

Sehubungan dengan uraian dalam poin ini bisa diumpamakan kepada seseorang yang berada pada satu ruangan, dirinya dalam keadaan sama sekali tidak berbusana yang pasti akan merasa malu sekali bila keluar dari ruangan, sebab sangat takut dilihat banyak orang. Tetapi, jika dalam ruangan itu tiba-tiba api berkobar dengan perhitungan akan menghanguskan dirinya, tentu segera keluar dengan tidak memperdulikan malunya sekalipun banyak orang memperhatikannya.

Begitu juga bagi yang tujuannya memperoleh Mardhotillah, rasa takut dengan malunya akan dikalahkan oleh takutnya dengan api neraka. Sungguh rasa malu sekecil apapun penyebabnya merupakan hal yang ditakuti, tapi ada lagi yang lebih ditakuti yaitu kemurkaan dari Rabb yang pasti janji-Nya.

Cepat memvonis dengan menerima informasi hanya dari sebelah pihak akan terjadi pemanipulasian dari yang sebenarnya sehingga menilai seseorang hanya dari segi kelemahannya, padahal setiap manusia tidak ada yang sempurna. Saya berhak menyatakan bahwa pernyataan dan penjelasan ini bukan karena kekecewaan! Sebab, ada Hadist Nabi SAW. yang menyatakan keharusan bersabar terhadap Imam/Amir.

Namun, harus dipahami jika itu masih diyakini legalitasnya maka dari itu persoalannya bukanlah dari hal tidak bersabar, melainkan menempatkan posisi diri kembali berkepemimpinan sesuai dengan perundang-undangan, berdasarkan penemuan baru dalam ilmu. Wajib bersikap dengan ilmu sebagaimana ayat: ”Dan janganlah kamu mengikuti persoalan yang kamu tidak ketahui tentang dasar (ilmu)nya. Sesungguhnya setiap penglihatan, pendengaran dan pemikiran akan dipinta pertanggungan jawabnya”.[46] Bagi yang berpegang pada ayat ini, tidak takut diungkap kelemahan-kelemahan pribadinya yang sekedar dirasakan di dunia fana. Perjuangan mengembalikan kepada undang-undang sehingga berdasarkan ilmu, terus maju sebab yang paling ditakuti ialah menghadapi pertanggung –jawaban di Akhirat abadi.

Adanya tuduhan Gillan, kecewa, serta lainnya adalah hak bagi yang mengatakannya sesuai dengan niat serta kepentingan, juga wawasan yang dimilikinya. Akan tetapi, bagi yang menjelaskan pun mempunyai hak pula, mengatakan sebagai kewajiban dalam menjelaskan dan perbaikan.[47]

MYT pernah mengakui kepemimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueh, kemudian Adah Djaelani Tirtapradja, yang sudah terkenal dalam pengadilan RI tahun 1982 sebagai Imam NII. Komitmen dalam hal itu lebih sepuluh tahun. Kedua tokoh itu sudah terkenal dalam sejarah, bukan hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri, karena sudah terbukti mengadakan perlawanan bersenjata, pernah menguasai daerah de facto dengan berkali-kali pertempuran mungkin puluhan kali tidak terhitung. Akan tetapi setelah tahu bahwa kepemimpinan mereka diluar garis perundang-undangan, yakni suatu kekeliruan maka baik itu dengan perkataan maupun tulisan MYT mengungkapnya. Maka, bagaimana halnya bila kekeliruan yang dilakukan MYT pada tanggal 25 Agustus 1996 jika tidak diungkapnya...? Jika kepada pihak lain bisa menyalahkan, maka terhadap kesalahan diri sendiri pun harus bisa menyalahkannya sehingga adil.

Perhatikan ayat “ Hai orang-orang yang beriman ! jadilah kamu orang-orang yang benar menegakkan keadilan menjadi saksi semata-mata karena Alloh, biarpu terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Sekalipun yang tergugat itu kaya atau miskin, maka Alloh lebih mengutamakan persamaan hak dan kewajiban terhadap keduanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu untuk memperkosa keadilan. Dan kamu kalau memutarbalikkan kenyataan atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.[48]

Daulah Bani Umayah yang dhohir dengan segala asset kekayaan serta kekuatan yang riil menguasai masyarakat dengan penerapan hukum Islam secara nyata dirasakan tiap individu, dikhawatirkan oleh pihak Barat (thogut) sebagai ancaman besar. Meskipun awalnya tidak legal, namun sebagian besar para ulama mengikutinya. Karena bila menyusun kekuatan selainnya akan dianggap merusak tatanan masyarakat Islam dan membantu kekuatan kaum kuffar.

Tegasnya, Daulah Bani Umayah kalau dimisalkan di Indonesia tentu puluhan propinsi serta ratusan kabupaten atau ribuan desa dikuasai pemerintah secara riil, bisa menterapkan undang-undang yang ditetapkannya, yakni bukan hanya di atas kertas serta tulisan. Juga mampu mempersatukan ummat dengan kekuatan senjata sehingga pantas bila menjadi kebanggaan untuk dipertahankan.

Berbeda dengan hal itu, saat ditulisnya Penjelasan dan Statemen ini, semua yang mengaku NKA-NII dari kelompok atau fraksi manapun mengatasnamakannya, semuanya masih dalam berjuang. Jangankan mempersatukan ummat dengan kekuatan senjata, wilayahnya pun belum dikuasai. Jangankan menguasai wilayah, komponen-komponen untuk mengimbangi kekuatan musuh pun belum tersedia.

Jadi, dalam keadaan begitu mau dengan apa mempersatukan ummat atau kelompok-kelompok? Apakah dengan memimpikan munculnya kekuatan seperti Bani Umayah?

Apakah kekuatan pemerintahan seperti Bani Umayah itu bisa berdiri tanpa terlebih dulu adanya persatuan?

Begitu juga apakah persatuan bagi mujahid NKA-NII akan terwujud tanpa menggunakan rujukan yang satu untuk bersama?

Apakah bisa kembali kepada rujukan bersama, jika masing-masing sudah terlebih dulu membanggakan kelompoknya sehingga tidak kembali kepada undang undang NKA-NII sebagai perangkat persatuan?

Sebab itu dalam Penjelasan dan Stetemen ini, saya tegaskan jangan memimpikan adanya kekuatan bisa de facto menguasai wilayah, bila tidak terwujud persatuan! Jangan menghayalkan persatuan, jika tidak kembali kepada undangan-sebagai rujukan bersama!

Suatu perjuangan pemerintahan bisa dimulai oleh beberapa orang, hal itu bahkan bisa dimulai oleh seorang. Contohnya, Abdul Azis bin Su’ud (1880-1953) sebagaimana telah dikemukakan pada halaman terdahulu. Sekalipun dimulai oleh seorang optimis jika hal itu didasari dengan legalitas, karena dengan legalitas itu bisa dipertanggung-jawabkan baik itu di dunia maupun di Akhirat. Berbeda dengan sekedar dalam pengakuan telah berpemerintahan, tetapi legitimasinya sulit dipertanggungjawabkan, maka hal itu membuat pesimis. Sebab pada akhirnya akan terjadi perdebatan dalam mahkamah sejarah, dan kita tidak boleh menyembunyikan sejarah bahkan diharuskan menceritakan sejarah secara objektif.[49] Dan sejarah kita pun akan dihakimi oleh generasi mendatang.

Seseorang bisa berjuang jika pada dirinya ada rasa optimis. Sedangkan optimis yang sesungguhnya ialah bila kelak di akhirat segala yang dilakukan bisa dipertanggung jawabkan secara ilmu.[50] Dari itu jangan sampai terjebak oleh keterlanjuran waktu yang lama. dalam kekeliruan sekedar mengikuti sikap seseorang. Jadi, untuk optimisme berjihad dalam hal ini mengakui kesalahan yang terjadi. Hadapi segala eksesnya sebagai pengorbanan. Berjihad (berlembaga) hanyalah sarana mencapai Mardhotillah maka jika terjadi kesalahan dalam hal itu segera beristighfar sehingga siap mengadakan perbaikan. Ingat, bahwa negara adalah stabil, tetapi pemerintahan bisa labil. Dan legalitas pemerintahan lebih bernilai dari pengorbanan yang telah lalu.

Pada waktu terungkapnya kekeliruan tentang penyerahan, 25 Agustus 1996 ditakdirkan bahwa Muhammad Yusuf Thohiry dan sebagian dari AKT-nya masih ada. Tentu dari hal itu ada pertanyaan, bagaimana seandainya kesalahan itu ditakdirkan terungkapnya sesudah MYT serta semua Anggota Komandemen Tertinggi yang tercantum dalam MKT No.1 Tahun 1994 itu sudah tidak ada? Jawabannya, perhatikan amanat Imam pada tahun 1959 di hadapan para panglima, yang antara lain bunyinya: ”Djika kalian dalam berdjuang putus hubungan dengan para Panglima sedangkan jang ada hanja pradjurit petit, maka pradjurit petit tampil sebagai Imam”. Dari amanat itu menunjukkan estapeta kepemimpinan NII terus berlanjut! Amanat itu mengandung arti lebih luas.

Yaitu, jika semua sudah tidak ada tentu masih banyak aparat bawahannya. Juga, seandainya tidak ditemukan lagi, karena semua aparat sudah dianggap habis, maka dikaitkan dengan amanat Imam pada tahun 1959 tadi, ummat (prajurit petit) pun berhak tampil sebagai Imam. Dan seandainya tidak ada yang siap tampil maka kembali kepada musyawarah ummat (mujahidin NII) melalui perwakilan-perwakilannya untuk mengangkat Imam yang disepakati. Dalam keadaan demikian hasil musyawarah mengandung legitimasi perjuangan tidak keluar dari MKT No.11 Tahun 1959, jika yang diangkat dan mengangkatnya ialah pelanjut dari kepemimpinan realisasi undang-undang tersebut. Sebab, bahwa prajurit petit dalam hal itu ialah prajurit dari Negara Islam Indonesia berarti dalam koridor perundang-undangannya.

Adapun terhadap pertanyaan, bukankah sebagian dari para Kepala Majlis yang tercantum dalam MKT No.1 Tahun 1994 itu telah diangkat menjadi para Kepala Majlis, termasuk MYT pernah menjadi Kepala Majlis Dalam Negeri yang diangkat oleh. yang terkait dengan penyerahan 25 Agustus 1996? Benar, hal demikian sebelum disadari adanya kekeliruan tentang penyerahan tersebut! Akan tetapi, sesudah disadari bahwa penyerahan 25 Agustus 1996 itu tidak sah maka pengangkatan sebagai Kepala-Kepala Majlis-nya pun berarti tidak sah. Dengan ketidaksahannya itu maka mereka tetap menempati struktur Dewan Imamah sebagaimana dalam MKT 1 Tahun 1994.

Ada kejadian sejarah yang tadinya tidak terpikirkan untuk dikemukakan dalam statemen MYT, tetapi pada Tanggal 15 September 2007 saya membaca sebagian surat yang ditujukkan kepada AFW tertanggal 14 Maret 1997, karena surat tersebut ditulis sesudah adanya Nota Dinas 25 Agustus 1996. Adapun bunyi kalimatnya yaitu “ Alhamdulillah, Allah Maha Bijaksana, sebelum majalah Ummat terbitan 9 Desember 1996 memuat wawancara Abdul Fattah Wirananggapati, Bapak sudah terlebih dulu menandatangani MKT No. IV, Tahun 1996 tanggal 15 Jumadil Ula 1417 H. Bertepatan 28 September 1996 mengenai pengangkatan Dewan Imamah NII, sehingga eksistensi kepemimpinan NII tetap berlangsung. Yakni adanya pengganti Abdul Fattah Wirananggapati diambil dari salah seorang anggota Dewan Imamah”.

Tatkala membaca kembali redaksi surat di atas itu, tiba-tiba saya merasa berdosa, jika hal ini tidak dijelaskan sebenarnya yang terjadi. Pada saat saya menulis surat itu tidak disadari terdapat kesalahan dalam redaksinya. Yang dimaksud dalam hal itu yakni pengangkatannya. Sebab, yang terjadi sebenarnya pada Tanggal 28 September 1996 itu hanyalah pengangkatan Dewan Imamah, adapun penandatanganannya yaitu sesudah beberapa lama dari terbitnya majalah Ummat, 9 Desember 1996, atau sesudah terjadinya keguncangan di kalangan ummat serta aparat terhadap isi wawancara AFW mengenai Pancasila.

Tepat tanggal dan harinya saya lupa, tetapi yang jelas sesudah banyak yang membaca majalah Ummat, terbitan 9 Desember dan sebelum Tanggal 26 Desember diadakan Tabayun mengenai hal itu. Lembaran pengangkatan yang harus ditandatangani sudah lama diberikan, namun tiap ditanyakan supaya segera ditandatanganinya, tidak ada jawaban yang pasti.

Akan tetapi, sesudah adanya keguncangan tersebut tadi maka MYT bersama tiga anggota Dewan Imamah yang sudah ditentukan, berusaha menghadirkan AFW guna menanyakan persoalan wawancaranya. Namun, setelah berkumpul dengannya hanya seorang anggota Dewan yang mempersoalkannya. MYT berusaha untuk tidak mempersoalkan tentang isi wawancara dalam majalah Ummat yang dimaksud, dengan pertimbangan pada waktu itu AFW belum menandatangani lembaran surat pengangkatan para A.K.T. sehingga Dewan Imamah tidak bisa memproses kasus yang terjadi pada AFW dalam hal wawancaranya. Dengan demikian pada waktu itu MYT hanya berusaha bagaimana caranya supaya AFW menandatangani MKT. No.IV /1996 pada hari itu juga. Kemudian setelah dikemukakan beberapa hal kepada AFW mengenai keharusan menandatangani MKT. tersebut maka AFW terlebih dulu meminta jaminan. Setelah jaminan disepakati, lalu salah seorang yang hadir pergi dulu membeli pulpen yang kegunaannya dianggap sesuai untuk menandatangani surat penting. Singkatnya, pada waktu pertemuan itulah MKT. No. IV / 1996 ditandatangani oleh Abdul Fattah W .

Beberapa lama sesudah penandatanganan, diantara empat yang menyaksikannya ada yang mengungkapnya bahwa untuk penandatanganan surat tersebut di atas didahului dengan tawar- menawar mengenai jaminan......Sehingga dari terungkapnya itu ada yang ragu mengenai sah atau tidaknya penandatanganan lembaran pengangkatan aparat dalam MKT No.4/1996. Keraguannya disampaikan kepada saya. Pada waktu itu MYT menjawab, “Yang dipegang oleh saya ialah ucapan Pak Fattah setelah selesai pengangkatan, memerintahkan supaya dibuatkan surat pengangkatan yang kemudian akan ditandatangani, rekaman perkataannya juga ada”.

Dengan jawaban dari MYT itu rupanya tidak puas, sebab orang itu menyanggahnya dengan berkata,”Perkataan itu beda nilainya dengan tandatangan”.

Saya berusaha supaya AFW menandatangani lembaran pengangkatan aparat yang tercantum dalam MKT. No.4/1996, dimaksudkan sebagai penyelamatan eksistensi Dewan Imamah pada waktu itu, sebab keadaan aparat dan ummat sudah gelisah terhadap isi wawancara AFW dalam majalah UMMAT, terbitan 9 Desember 1996, mereka mendesak supaya diadakan pemeriksaan. Pikiran saya membayangkan bila dilakukan pemeriksaan, sedangkan lembaran pengangkatan Dewan Imamah belum ditandatangani, maka akan terjadi konplik antara aparat serta ummat dengan AFW, dan bisa-bisa pengangkatan Dewan Imamah pun akan dibatalkan.

Tidak meleset dugaan itu, sesudah terjadinya pemeriksaan atau tabayyun, 9 Desember 1996 AFW berusaha mendatangi beberapa anggota Dewan Imamah meminta lembaran MKT.No.4/1996. Walaupun sudah mencarinya ke beberapa tempat lembaran aslinya tidak ditemukan, karena saya yang menyimpannya, dalam arti saya tidak memberikannya, karena saya memahaminya bila lembaran aslinya ke tangannya maka AFW bisa berbuat yang tidak dikehendaki para aparat yang sudah diangkatnya.

Surat yang ditujukan kepada AFW, tanggal 14 Maret 1997 sebagian isinya juga menjelaskan tentang surat Nota Dinas kepada AFW tertanggal 9 April 1992, sedangkan adanya pengiriman surat tersebut adalah hasil musyawarah tanggal 4 Pebruari 1996, di Leuwi Gajah. Adapun redaksinya merupakan rekayasa politik, saya yang membuatnya tanpa konsultasi dengan yang lainnya, sedangkan dalam pengetikannya oleh aparat bagiannya. Sebagai konsep dibuat dengan ketikan tetapi dengan harapan bila ditandatangani oleh AFW dalam bentuk tulisan tangan, karena AFW-nya masih dalam penjara musuh. Sebenarnya saya ragu mengirimkan surat dalam situasi demikian, karena takut adanya salah pengertian dari AFW walau dilampiri surat pengantarnya, namun mengingat dalam musyawarah dikatakan bahwa sebelum AFW keluar bebas dari penjara, surat sudah harus diterima olehnya. Akhirnya, surat dikirimkan.

Alhamdulilillah ”Rekayasa Politik” itu tidak ditandatangani oleh AFW. Keraguan saya terbukti, yakni akhirnya saya dituduh ambisi. Tapi, senjata penangkisnya yaitu cukup hanya Rabb- lah yang mengetahui segala niat saya. Dan kepada- Nya pula saya beristighfar. Saya sadar bahwa pada hakekatnya Rabb juga yang membukakan rahasia sejarah yang tadinya masih tersembunyi. Persilahkan kepada mahkamah sejarah baik itu sekarang maupun masa- masa mendatang bila akan menghakiminya. Kewajiban saya (MYT) menjelaskannya. Dan hanya demikianlah kemampuan (kompetensi) saya mengendalikan perjuangan Negara Islam Indonesia dalam kondisi waktu itu.

Statemen dan Seruan Muhammad Yusuf Thohiry

Bismillaahirrachmaanirrachiim, sekalipun ada perasaan berat dalam hati untuk membuat statemen yang mengandung konsekwensi dan resiko, namun konsekwensi dan resiko itu jauh dari berat bila dibandingkan dengan ancaman dari Allah SWT. sebagaimana yang termaktub dalam beberapa ayat Al-Qur`an yang menyatakan: ”Amat murka Allah Subhanahuwat’ala terhadap yang mengatakan tanpa perbuatan”.[51] Juga, kutukan terhadap yang memutarbalikan kalimat dari asalnya.[52] Serta laknat bagi yang melanggar janjinya.[53] Maka di bawah ini saya nyatakan:

1. Dengan sesadar-sadarnya dan dalam keadaan sehat serta tidak berada tekanan siapa dan apapun, bahwa kesalahan yang saya (Muhammad Yusuf Thohiry) lakukan bukanlah kesengajaan untuk menyimpang dari perundang-undangan, melainkan kealfaan sebagai manusia yang mempunyai sifat lupa. Dan karena saya telah sadar dari kesalahan untuk itu saya harus segera kembali kepada kebaikan sebagaimana keterangan firman-Nya dalam QS. Ali Imran (3) :33 dan QS. Al-Maidah (5):39. Maka penyerahan jabatan Imam/ KPSI pada tanggal 25 Agustus 1996 saya nyatakan tidak sah.

2. Semua tanda tangan saya yang tertera dalam lembaran keputusan negara, atau sikap perbuatan saya yang didasari oleh penyerahan seperti tersebut dalam poin pertama di atas, saya nyatakan merupakan suatu kekeliruan.

3. Tulisan- tulisan saya dalam bentuk buku, brosur- brosur dan dalam bentuk lainnya, yang isinya mengadung pembenaran terhadap tanda tangan dalam lembaran-lembaran negara, atau hal-hal sebagaimana yang disebutkan dalam poin kedua, saya nyatakan salah.

4. Sebagai konsekwensi dari tiga poin di atas guna kelangsungan estapeta perjuangan dan kepemimpinan Negara Islam Indonesia, dan demi melakukan perbaikan (Q.S.11:8) saya akan berusaha terus melangkah semaksimal kemampuan guna berada pada koridor undang-undang NKA-NII.

5. Sungguh disadari bahwa adanya pernyataan sikap ini menimbulkan beban bagi sebagian aparat atau ummat, karena akan ada yang meninjaunya hanya dari segi perasaan atau hanya melihat dari eksesnya. Tetapi, di balik itu ada yang merasakan, bahwa ini merupakan perbaikan atau ujian bagi semua yang sudah mengaku berpegang pada konstitusi NKA-NII dalam hal konsistennya. Yakni, mereka yang sebelum hal ini terjadi, senantiasa menyerukan kepada yang lain untuk berkepemimpinan sesuai dengan konstitusi. Dan bila telah menyimpang dari undang-undang, harus segera kembali kepadanya meski sudah belasan tahun berada diluar koridor konstitusi! Inilah ujian, jangan hanya bisa menyerukan kepada orang lain, tapi harus bisa dipraktekkan oleh diri sendiri saat menyadari tidak menempati rel konstitusi NKA-NII. Bila orang lain yang diseru telah lulus dari ujian dengan siap meninggalkan posisi, tidak terpaku oleh hegemoni demi kembali kepada perundang- undangan, maka apakah bisa pula bagi penyerunya jika terjadi seperti yang telah diseru? Lulus dari ujian dan beban berat atau ringan sesuai dengan kapasitas pelakunya adalah pengorbanan dari suatu perjuangan.

6. Ingatlah!, bahwa NKA-NII pada saat ini bukan dalam keadaan de facto seperti Bani Umayyah, Abbasyiah, atau negara-negara yang di dalamnya terdapat para pakar kenegaraan. Melainkan NKA-NII dalam masa berjuang dan fi waqtil harb. Kondisi ini, perubahan radikal maupun yang bersifat evolusi ke luar atau ke dalam senantiasa terjadi. Untuk itu dalam mencermati keadaan yang sedemikian, harus berdasarkan ilmu. Perhatikan kisah Nabi Ibrohim ‘Alaihissalam, “Demikian Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan langit dan bumi, agar Ibrahim termasuk orang- orang yang benar-benar yakin “. Tatkala malam telah gelap, dilihatnya sebuah bintang, dia berkata: “Inikah Tuhanku ?” Tetapi manakala bintang itu telah menghilang di balik kaki langit dia berkata: “Aku tidak suka kepada sesuatu yang dapat menghilang”. “Ketika dilihatnya bulan terbit, dia berkata: “Inikah Tuhanku ?. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata lagi: “Sekiranya tuhanku tidak memberiku petunjuk, tentulah aku termasuk orang-orang yang sesat. Dan ketika dilihatnya matahari terbit, dia berkata: “Inikah Tuhanku ? Bahkan ia lebih besar dari yang tadi”. Tetapi setelah matahari itu terbenam pula, dia berkatalagi: “Hai kaumku ! sesungguhnya aku bebas dari apa yang kamu persekutukan”.(QS. 6: 75-78). Dari ayat-ayat tersebut disimpulkan bahwa suatu pengakuan akan berubah dengan datangnya pengetahuan baru yang lebih meyakinkan. Adapun kapan datangnya pengetahuan yang lebih meyakinkan, target waktunya diluar kemampuan seseorang, hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui. Dengan itu jika suatu kekeliruan, baru terungkap sesudah melalui proses lebih dari sepuluh tahun, tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak dijelaskan. Bahkan bila tidak dijelaskan, mungkin akan berlanjut bukan hanya dalam kurun belasan tahun, tapi malahan puluhan tahun. Dan bagaimana tanggung jawab bagi yang sudah mengetahui kesalahan itu.

7. Dalam berijtihad, bisa saja hasilnya salah. Tapi jika sudah disadarinya bahwa ijtihad itu salah, maka tidak boleh ijtihad terdahulu dipertahankan atau dikatakan benar. Sebab, disitir oleh Al Qur’an sebagai orang-orang yang memutarbalikan kalimat dari asalnya yang ujungnya sehingga Alloh melaknatnya, perhatikan Qur’an Al-Maidah ayat 13, surat Al-Baqoroh ayat 46. Jelas sekali bahwa mengungkap kekeliruan dalam ijtihad tidak terhalang oleh waktu sepuluh tahun, tidak terintangi oleh bebagai penilaian atau tanggapan negatif.