Penjelasan dan Statemen Estafeta - V

Memerlukan Proses Waktu

Sesudah Imam SMK tertangkap, 4 Juni 1962 kemudian disusul oleh adanya “Ikrar Bersama” yang dilakukan oleh sebagian besar mantan pimpinan / Komandan TII dalam hal sumpah setia terhadap UUD 45 dan Pancasila serta menyesali diri dalam hal perjuangan NKA-NII, maka sungguh sulit pada tahun-tahun itu untuk memastikan siapa yang bisa diajak bicara tentang kelanjutan perjuangan NKA-NII. Sebab, terbetik pandangan bahwa para pemimpinnya saja sebagian besar sudah kembali menyerahkan diri ke RI, apalagi prajurit bawahannya serta masyarakat umum.

Dalam kondisi sedemikian itu membutuhkan proses waktu untuk menjelaskan estapeta kepemimpinan NKA-NII. Adalah tidak mungkin menjelaskannya, jika orang yang akan dipimpinnya pun belum ditemukan. Serta, tidak tepat bila menjelaskan estapeta kepemimpinan NKA-NII kepada mereka yang sudah menyesali diri mengenai keterlibatan dalam perjuangan NKA-NII, serta mengakui kesesatannya, sehingga menjatuhkan martabat NKA-NII.

Tentu, pada waktu itu masih ada pribadi-pribadi yang masih berkeinginan melanjutkan perjuangan NKA-NII, tetapi karena mereka sudah terpencar serta bercampur dengan sebagian yang sudah kompromi dengan penguasa RI, maka sukar bagi Abdul Fatah Wirananggapati mencari mereka yang masih setia terhadap perjuangan NKA-NII. Kondisi pada waktu itu hanyalah kecurigaan atau saling ketidakpercayaan antara mereka. Contohnya, sesudah Imam S\M. Kartosoewirjo tertangkap, waktu itu di Jawa Tengah masih ada pasukan sekitar seratus orang yang dipimpin oleh Ismail Pranoto yang tetap mengangkat senjata, terus mengadakan perlawanan sesuai dengan Amanat Imam Tahun 1959 dihadapan para panglimanya. Tetapi, begitu ketahuan oleh bekas kawan-kawannya kemudian dibujuk oleh tipuan bahwa di kota telah ada “Cease Fire” (gencatan senjata). Disebabkan mereka tidak mengikuti bujukan demikian maka akhirnya diultimatum oleh para pembujuk itu, bila tidak menyerah akan digempur. Dan nyata bahwa pasukan yang dipimpin Ismail Pranoto itu dikejar-kejar. Bukan saja oleh TNI, melainkan juga dibantu oleh bekas-bekas TII.[37]

Setelah pengejaran terhadap pasukan Ismail Pranoto, sisa dari pasukan itu terus bergerilya dan pimpinannya diambil alih oleh Kastolani, karena Ismail Pranoto pindah ke Yogya untuk mencari dukungan di daerah tersebut. Selanjutnya pada awal tahun 1965, Ismail Pranoto mengutus Hanif dan Safri (Salman Farisi) kepada Kastolani dengan pesan bahwa Ismail Pranoto akan berangkat ke Sumatera untuk mengusahakan tempat di sana sebagai basis baru bergerilya.

Pada tahun 1967 pasukan yang dipimpin Kastolani tinggal 12 orang terdiri dari delapan orang militer dan empat orang sipil. Mereka sudah bertekad dengan pribahasa sekalipun menjadi ‘monyet’ (hidup di hutan bergerilya), tetap tidak akan menyerah kepada musuh. Hanya, mereka tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya di luar daerahnya.

Di saat-saat demikian itu datanglah dua utusan dari Kadar Solihat yaitu Khaeruddin salah seorang bekas komandan Kompi TII Kebumen, Jawa Tengah, yang satunya ialah Abdullah. Khaerudin memberitahukan masih adanya kekuatan Kahar Muzakar di Sulawesi serta Tgk. Muhammad Daud Beureueh di Aceh, juga di Jawa Barat Siliwangi separuhnya sudah NKA-NII.

Dengan kalimat-kalimat itu Kastolani dan Zaenal Asikin merasa pasukannya akan diperintahkan untuk pindah tempat bergerilya ke luar Jawa. Kedua utusan itu menjanjikan ada tiga pilihan tempat bergerilya, Apakah mau di Sulawesi,Aceh, atau mau di Jawa Barat.

Tertipu oleh informasi demikian, Kastolani menuruti Khaeruddin, kemudian mengirimkan empat orang personilnya yang sipil dengan diantar oleh Khaeruddin ke Jawa Barat. Setelah satu minggu perjalanan dengan menginap di beberapa tempat, lalu sesuai dengan yang sudah ditentukan dijemput di stasion kereta api Bandung oleh Fajri seorang bekas komandan Resimen TII Banyumas. Para penjemput itu membawa mereka ke sebuah rumah mantan komandan resimen TII. Keempat orang itu mengikutinya dengan maksud dalam rangka bergerilya mencari kawan-kawan seperjuangan yang dalam dugaan sedang menyusun kekuatan di kota. Tetapi, karena tidak tahu mana yang masih setia terhadap NKA-NII dan mana yang sudah menyerah kepada musuh, maka secara tidak disadari ketika masuk rumah mantan komandan resimen TII; ketika itu juga masuk dalam perangkap musuh, selama satu minggu belum disadarinya.

Kemudian setelah seminggu lamanya berada di rumah tersebut, mereka dibawa oleh bekas komandan resimen itu serta dikatakan kepada mereka akan dibawa ke Tasikmalaya. Mereka tidak curiga akan ditangkap, walau dibawa ke Brigif 13, karena informasi sebelumnya bahwa Siliwangi separuhnya sudah berpihak kepada NKA-NII, juga yang membawanya adalah seorang tokoh di kalangan NKA-NII. Mereka baru menyadari keadaan sedang ditangkap oleh musuh, sewaktu mereka dimasukkan ke dalam sel dan ketika akan mengambil air wudhu, melakukan sholat dikawal oleh anggota T N I dengan senjata otomatis.[38]

Sementara itu pasukan Kastolani yang di Jawa Tengah belum tahu adanya kejadian yang menimpa kepada empat orang anak buahnya yang di utus ke Jawa Barat. Tujuh belas hari sesudah kedatangan Abdullah dan Khairuddin atau setelah empat orang sipil tadi ditangkap musuh, datang lagi Khaeruddin mengantar Kadar Sholihat bersama salah seorang bekas komandan kompi TII di Jawa Barat, disertai tiga orang TNI yang menyamar dengan berpakaian preman yang sebelumnya tidak diketahui oleh Kastolani bahwa pada masing-masing pinggangnya terselip pistol. Sesudah bertemu dengan kedua bekas komandan TII serta tiga orang TNI yang menyamar itu, maka muncullah kira-kira seratus orang TNI dari tempat persembunyian.

Sewaktu berlangsung pembicaraan, Kastolani bertanya kepada Kadar Sholihat, “Apakah hal ini tidak menggunakan sarana musuh (maksudnya tidak diketahui musuh)?” Dalam hal ini Kadar Sholihat meyakinkan bahwa mereka akan dimutasikan dalam rangka melanjutkan perjuangan. Kastolani percaya akan hal itu karena mengingat pesan dari Ismail Pranoto yang berusaha menyediakan tempat di Sumatera, dan ini dianggap sebagai hasilnya. Selain itu juga Kastolani percaya bahwa di Siliwangi sudah banyak yang berpihak pada NKA-NII, sehingga tidak curiga ketika diperintahkan naik ke mobil pik up oleh Kadar Sholihat. Dengan itu delapan TII termasuk Kastolani, bersama keenam orang penjemput itu meninggalkan Brebes.

Kastolani baru sadar bahwa dirinya sudah tertipu, tatkala mobil yang mereka tumpangi itu memasuki markas Brigif 13 Galuh, Tasikmalaya Jawa Barat. Sungguh jelas pada tahun-tahun itu sangat susah untuk saling percaya, sebab kawan dan lawan amat samar.