Penjelasan dan Statemen Estafeta - VI

Kehati-hatian dalam Menyikapi dan Melangkah

Pada Tahun 1971 AFW berkumpul bersama empat orang tokoh NKA-NII dari Jawa Barat yang siap menggalang kembali kekuatan NKA-NII. Dari pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa AFW harus pergi ke Aceh menemui Tgk. Muhammad Daud Beureueh.

Dalam pada itu AFW berpesan kepada empat orang yang akan ditinggalkan itu bahwa mujahid dibagi tiga kelas:

1) Mujahid yang bisa dibawa bicara dan dibawa kerja ialah seluruh mujahid yang tidak pernah khianat;
2) Dibawa bicara, tapi jangan dibawa kerja ialah mujahid yang diberi kesenangan kerena sangat akrab dengan Bakin; dan
3) Sama sekali jangan dibawa kerja dan jangan diajak bicara (diberi tahu).

Kenyataannya, Tahun 1973 diadakan musyawarah di Jakarta. AFW menunggu di rumah Jabir. Kata Dodo M. Darda kepada AFW, “Bapak tunggu di sini”. Kira-kira jam 10 siang datang lagi Dodo M. Darda mengatakan kepada AFW, Abu Daud tidak datang. Lalu kata AFW, “Kalau gitu tidak jadi pertemuan itu, maka saya akan pulang ke Bandung. Sesudah meninggalkan Jakarta, tahu-tahunya jadi pertemuan itu dan diangkatnya Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai Imam. Dalam hal itu ada yang bertanya kepada AFW, mengapa bapak tidak diikutsertakan dalam pertemuan itu? Jawabnya, ”Mungkin alasannya karena diadakan di rumah Adah Djaelani, serta penyandang dananya dari Ateng Djaelani Setiawan“.

Apa yang menimpa kepada para mujahid di bawah pimpinan Kastolani pada Tahun 1967 sebagaimana telah diuraikan, terulang kembali pada tahun 1970-an dalam versi lain. Silahkan anda menilai kutipan ini, ”Dalam kesadaran terpepet itulah saksi Ateng Djaelani datang menemui Panglima Kodam IV Siliwangi, yang ketika itu dijabat Mayjen Himawan Sutanto.

Segala yang direncanakan rekan-rekannya tentang DI/TII, dilaporkan kepada Mayjen Himawan. Ketika itu juga Panglima memerintahkan aparatnya untuk mengambil tindakan Sedangkan saksi sendiri, yang ketika itu datang bersama rekannya Zaenal Abidin, Kadar Solihat mengatakan kepada Mayjen Himawan bahwa mereka akan mempersiapkan operasi “pertentangan”.

Saksi dan Zaenal Abidin akan berusaha menghubungi rekan-rekannya dan mengajak mereka untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Salah seorang yang berhasil ditemui Ateng ketika itu adalah tertuduh Sukana Fachruroji. Hal itu dibenarkan tertuduh di persidangan hari itu.[39]

Dari beberapa kejadian itu bisa disimpulkan; “tidak mudah bagi Abdul Fatah Wirananggapati untuk mengajak tokoh-tokoh yang sudah menyerahkan diri kepada musuh itu supaya menerima estapeta kepemimpinan berdasarkan undang-undang MKT No.11 Tahun 1959.

Sebab, jangankan terhadap KUKT, Abdul Fatah Wirananggapati yang tidak besama-sama dengan mereka karena beda lapangan tugasnya, sedangkan terhadap yang sama-sama satu lapangan juga tega melaporkannya kepada aparat pemerintah RI.

Jangan aneh bila anda dengar bahwa di antara para tokoh yang sudah menyerahkan diri kepada musuh itu telah melecehkan Abdul Fatah Wirananggapati, sebab beliau telah membuat At-Tibyaan yang menjelaskan mengenai estapeta kepemimpinan NKA-NII berdasarkan perturannya, serta menjelaskan mengenai nilai hukum berdasarkan Qur’an terhadap mereka yang sudah menyerahkan diri kepada musuh.

Dalam kondisi sedemikian, langkah pertama yang bisa ditempuh oleh Abdul Fatah Wirananggapati, yaitu mengadakan pendekatan kepada masyarakat secara bertahap sehingga ditemukan kader-kader baru atau warga NKA-NII. Juga, berusaha menemukan personil TII yang masih utuh terlepas dari nilai kompromi dengan musuh.

Adapun langkah kedua, yaitu menjelaskan kelanjutan perjuangan kepada yang ingin mengetahuinya. Sebab, masalah estapeta kepemimpinan NKA-NII pada awal kebangkitannya, hanya bisa dijelaskan kepada yang sudah benar-benar diketahui berkeinginan memahaminya. Dengan itu sangat terbatas.

Hal demikian karena adanya beberapa faktor di antaranya ialah:

Pertama, Kebanyakan ummat tidak memiliki wawasan mengenai perundang-undangan NKA-NII. Atau tidak menganggap penting, sehingga mereka mengakui pemimpin itu cuma berdasarkan idolanya masing masing atau ikut-ikutan;

Kedua, Kebanyakannya tidak memahami nilai hukum mengenai yang sudah mundur dari NKA-NII, sehingga masih dianggap sebagai pimpinan;

Ketiga, Adanya sebagian eks pimpinan TII yang tidak sadar dalam monitoring serta arahan dari pemerintah RI, sehingga terpancing memunculkan kepemimpinan, dengan tidak berdasar pada peraturan NKA-NII;

Keempat, Banyak eks tokoh TII yang tidak mengakui kesalahan dalam hal “desersi” dari NKA-NII, sehingga yang sebenarnya menyerahkan diri kepada musuh, malah disebutnya sebagai ‘Hudaibiyah’;

dan Kelima, Banyaknya eks pimpinan TII yang tidak mau taubat menurut prosedur hukum (tidak mau mengeterapkan Q.S.4:64), Sehingga menyepelekan Abdul Fatah Wirananggapati bahkan menjegal langkahnya.