Penjelasan dan Statemen Estafeta - VIII

Kembali kepada Sistem

Proses proses pemahaman sejarah serta penilaian terhadap posisi para tokoh NKA-NII terus berkembang seiring berlanjutnya perjuangan. Konsolidasi antar mujahid berjalan sehingga pada tahun 80-an AFW bertemu dengan Kholil alias Pi’i bin Dahrodji. Kholil dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan RI dalam peristiwa Idul Adha 1962.[43]

Namun, sesudah peristiwa G.30 S. PKI, 1965 dirinya memperoleh keringanan diperbolehkan pulang. Dalam kesempatan itu ia melarikan diri tidak kembali ke penjara. Setelah bertemu dengan Kholil, AFW dipertemukan kembali dengan Zaenal Hatomi.

Dari pertemuan itu AFW memperoleh keterangan dari Zaenal Hatomi bahwa Imam SM. Kartosoewirjo pernah menyatakan, bahwa para Petinggi/Komandan TII yang datang menyerahkan diri kepada pemerintah RI telah gugur dari kepemimpinannya.

Adapun Kholil menceritakan, bahwa dirinya diperintahkan untuk mengeksikusi tiga bekas petinggi NKA-NII Jawa Barat yang menyerahkan diri kepada RI. Perintah itu akan dilaksanakan jika Soekarno sudah terbunuh. Selanjutnya sekitar tahun 1986-an AFW memperoleh dokumen lembaran “Ikrar Bersama,1 Agustus 1962” yang ditandatangani oleh 32 orang bekas para komandan TII yang isinya menyesali diri dalam perjuangan NKA-NII. Menurut Zaenal Haftomi, lembaran tersebut telah disodorkan kepada Imam SM. Kartosoewirjo setelah divonis mati oleh pengadilan RI.

Tanggapan Imam pada waktu itu, “Mereka bukan saja telah batal, tapi juga menyeberang”. Dari penemuan barunya itu AFW mengambil sikap, bawa semua yang sudah menyerahkan diri kepada RI adalah batal termasuk Tgk. Muhammad Daud Beureueh, walau dulunya memegang jabatan setarap AKT (Panglima KPWB). Manifesto politik AFW diungkapkan dalam tulisan dengan judul “At-Tibyaan”, 1987.

Mujahid NII diharuskan beralih dari kepemimpinan lama setelah datang kepadanya penemuan baru tentang nilai dan sistem, bukan karena mengikuti seseorang yang sudah difigurkan, melainkan karena sistem, yakni seperti halnya MKT No.11, Tahun 1959 serta keutuhan nilai sebagai pemegang jabatan yang setaraf dengan -nya.

Bila pemimpin salah melangkah karena ijtihadnya maka kewajiban kita mengembalikannya kepada sistem, sebab yang diikuti ialah sistem bukan figur. Begitu juga kekeliruan AFW atau keterlambatannya menentukan sikap sebagai estapeta K.P.S.I. sesuai dengan M.K.T. No. 11, Tahun 1959 karena terjegal oleh berbagai proses perjuangan serta pemikiran, maka dari hal itu kewajiban kita kembali kepada sitem / undang-undang.